"Jika demikian pandangan al-Qur’an dan diperkuat tafsir para ulama,
maka terang bahwa surga tak dimonopoli komunitas suatu agama. Ia adalah
milik publik yang bisa dihuni umat agama mana saja yang beriman dan
beramal saleh. Umat Islam yang tak melakukan amal saleh tak secara
otomatis masuk surga bahkan bisa masuk ke dalam neraka. Sebaliknya,
orang non-Islam yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga. Nabi
Muhammad bersabda, “saya melihat seorang pendeta berada di dalam surga
sedang memakai baju sutera karena ia beriman”. Yang dimaksud dengan
pendeta ini adalah Waraqah ibn Naufal."
Surga dalam bahasa Arab disebut jannah. Ia dipahami sebagai tempat orang-orang terpilih mendapatkan kenikmatan puncak atas segala amal baik yang dikerjakannya ketika hidup di dunia. Surga adalah imbalan Tuhan atas hamba-hamba-Nya yang beriman dan yang melakukan perbuatan-perbuatan baik. Di surga, Tuhan akan memberikan kesenangan dan kenikmatan. Sebuah hadits riwayat Muslim menggambarkan kenikmatan surga itu dengan kenikmatan yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak pernah terbayang dalam imajinasi dan pikiran manusia (ma la ‘ayn ra’at wa la udzun sami’at wa la khatara ‘ala qalbi basyar). Seluruh perbendaharaan kata tak memadai untuk menggambarkan kenikmatan-kenikmatan surga itu.
Al-Qur’an menjelaskan, di dalam surga segala kebutuhan dan keingina manusia akan dipenuhi. Di surga ada bidadari-bidadari cantik (khayratun hisan), minuman-minuman menyegarkan, dan semua jenis buah-buahan (min kulli fâqihatin). Di bagian bawah surga itu terdapat aliran sungai dengan air yang jernih. Bahkan ada sebuah mitologi bahwa beberapa air sungai di bumi berasal dari surga. Khathib al-Syarbini dalam kitab al-Iqna` (hlm. 5) menjelaskan, air sungai Nil, sungai Gangga, dan Amu Ardaya (Oxus) dialirkan dari surga. Bajuri dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri (Juz I, hlm. 4) menyebutkan sungai Furat (Eufrat) dan Dajlah (Tigris) berasal dari Sidratul Muntaha. Apa yang dikemukakan Khathib al-Syarbini dan Bajuri itu sebuah mitologi. Ia tak didukung fakta, sumber air sungai adalah dalam perut bumi sendiri dan bukan di luarnya. Di samping itu, tak ada dalil Al-Qur’an dan al-Hadits yang mendukung pernyataan tersebut.
Namun, terlepas dari itu, rasanya semua agama menjanjikan surga kepada umatnya. Bukan hanya Islam, agama lain pun seperti Kristen dan Yahudi turut mengkampanyekan surga kepada umat masing-masing. Dalam Injil Matius 5:19 disebutkan, “siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga”. (Matius 5:3) Dalam Al-Qur’an (al-Hajj [22]: 23) disebutkan, “sesungguhnya Allah akan memasukkan orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”. Allah juga berfirman, “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar” (QS, al-Nisa’ [4]: 13-14).
Pertanyaannya, apakah surga itu hanya milik umat agama tertentu? Tidak sedikit umat beragama mengklaim bahwa surga hanya kepunyaan mereka semata. Tempat yang layak bagi orang di luar kelompoknya adalah neraka. Sebagian orang Yahudi pernah berkata bahwa hanya orang-orang Yahudi yang akan masuk surga. Demikian juga orang Kristen; sebagian mereka berpendapat bahwa hanya orang Kristen yang masuk surga. Pandangan eksklusif ini ditentang al-Qur’an. Allah berfirman, “Mereka (sebagian Yahudi dan Nashrani) berkata, “sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nashrani”. Demikian itu hanyalah angan-angan kosong mereka saja. Katakanlah, “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. “Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS, al-Baqarah [2]: 111-112).
Muhammad Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa klaim eksklusif itu dikemukakan orang-orang Yahudi Madinah dan orang-orang Nashrani Najran. Nawawi al-Jawi dalam Marah Labidz, (Juz I, hlm. 30) menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut, “Orang-orang Yahudi Madinah berkata bahwa yang masuk surga hanya orang-orang Yahudi. Tak ada agama selain agama Yahudi. Orang-orang Nashrani Najran juga berkata bahwa yang masuk surga hanyalah orang-orang Nashrani. Tak ada agama selain agama Nashrani. Sama sekali tidak. Selain mereka masuk surga. Yaitu orang-orang yang tulus kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya, berbuat baik dalam semua tindakannya. Baginya adalah pahala yang telah dijanjikan Tuhan-Nya di dalam surga”
Dalam mengomentari ayat di atas, Ibn Katsir dan al-Zamakhsyari menyatakan bahwa yang akan masuk surga itu adalah yaitu orang yang tulus ikhlas hanya kepada Tuhan serta tidak menyekutukan-Nya. Pandangan senada dikemukakan al-Thabari bahwa “man aslama” dalam ayat itu berarti orang-orang yang tunduk-taat hanya kepada Allah. Dengan penjelasan ini sudah cukup untuk menyatakan bahwa orang yang masuk surga tidak harus orang beragama Yahudi atau Kristen atau Islam. Siapa saja di antara umat manusia yang tunduk hanya kepada Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Yang tunduk kepada Allah itu bisa beragama Islam, Kristen, Yahudi, dan sebagainya.
Namun, Ibn Katsir memberikan catatan bahwa yang dimaksud dengan kata “wa huwa muhsin” dalam ayat tersebut berarti orang yang mengikuti Nabi Muhammad. Sebab, menurutnya, sebuah amal bisa diterima jika memenuhi dua persyaratan, yaitu tulus-ikhlas karena Allah dan sesuai atau cocok dengan syari`at (Nabi Muhammad). Jika seseorang hanya tulus ikhlas, tapi amalnya tak sesuai dengan syari`at Nabi Muhammad, maka tak dapat diterima. Sebagai sebuah tafsir, apa yang dikemukakan Ibn Katsir tersebut adalah sah. Namun, penting dikemukakan, bahwa menafsirkan “wa huwa muhsin” dengan orang yang mengikuti Nabi Muhammad adalah tafsir terjauh di luar jangkauan makna leksikal dan semantik kata itu. Karena itu, selain Ibn Katsir, tak mudah ditemukan dari penafsir-penafsir lain yang mengartikan “wa huwa muhsin” dengan mengikuti syari`at Nabi Muhammad.
Terkait dengan kata “aslama” tersebut, di ayat al-Qur’an (Ali `Imran [3]: 19) lain Allah berfirman, “inna al-din ‘inda Allah al-islam” (agama di sisi Allah adalah al-islam). Muhammad Nawawi al-Jawi menafsirkan “al-islam” dalam ayat tersebut sebagai tauhid dan ketundukan kepada syari`at-syari`at yang diturunkan Allah kepada para nabinya. Ayat ini, menurut Nawawi al-Jawi, turun untuk menepis klaim orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani bahwa hanya agama dirinya yang diakui Allah.
Al-Qurthubi berpendapat, “al-islam” dalam ayat tersebut berarti keimanan dan ketaatan terhadap Allah. Sementara kata al-din dalam ayat tersebut berarti ketaatan dan millah). Pendapat ini juga dikemukakan Abu al-`Aliyah dan kalangan Mutakallimin. Sementara al-Zamakhsyari mengartikan kata “al-islam” dalam ayat itu berarti keadilan dan tauhid. Mengikuti pandangan al-Zamakhsyari ini, maka siapa saja yang bertauhid dan berbuat adil akan mendapat ridla Allah. Thabathaba’i mengartikan kata al-islam sebagai mentauhidkan (meng-esa-kan) Allah. Muhammad Nawawi al-Jawi mengartikan “ghair al-islam” dengan tidak bertauhid dan tidak tunduk pada hukum Allah). Di ayat lain disebutkan juga, “wa radhitu lakum al-islam dina”. Kata “al-islam” dalam ayat ini diartikan al-Qurthubi sebagai keimanan dan amal.
Dengan perspektif berbeda, Ibn Katsir mengartikan kata islam tersebut dengan syari`at atau agama yang dibawa Nabi Muhammad. Menurutnya, setelah Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi, maka syari`at-syari`at lain selain syari`at Muhammad SAW tidak akan diterima. Dengan tegas ia berkata, syari`at Nabi Muhammad telah menutup semua jalan menuju Tuhan kecuali jalan Muhammad SAW. Menurut Ibn Katsir, dengan kehadiran Muhammad dan syari`atnya, maka umat Islam tak memerlukan syari`at dan nabi lain. Mengikuti logika pernyataan ini, maka umat beragama yang mengikuti syari`at selain syari`at Nabi Muhammad tertolak, sehingga tak akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Namun, Muhammad Rasyid Ridla menyatakan, keberuntungan dan kebahagiaan di akhirat tak memiliki kaitan dengan jenis-jenis agama yang dipeluk seseorang. Menurutnya, keberuntungan akhirat akan dicapai dengan dua persyaratan pokok, yaitu keimanan dan amal saleh. Karena itu, surga bukan hanya milik sekelompok orang sebagaimana diimajinasikan sebagian umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Rasyid Ridla mendasarkan pandangannya ini pada ayat al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 62) “sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Sabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka.” Muhammad Rasyid Ridla berkata, “Sesungguhnya keberuntungan akhirat itu adalah pasti, karena mereka seorang Muslim, Yahudi, Nashran, atau Shabi’ah. Allah berfirman, sesungguhnya keberuntungan (akhirat) tak terkait dengan jenis-jenis agama, melainkan dengan keimanan yang benar dan perbuatan yang memberikan kemaslahatan buat umat manusia. Oleh karenya, terhapuslah (penyerahan) urusan ketuhanan pada angan-angan umat Islam dan Ahli Kitab. Makin kukuhlah (pandangan) bahwa urusan kebahagiaan akhirat berdasarkan amal saleh dan keimanan yang benar). (Lihat Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz I, hlm. 275).
Jika demikian pandangan al-Qur’an dan diperkuat tafsir para ulama, maka terang bahwa surga tak dimonopoli komunitas suatu agama. Ia adalah milik publik yang bisa dihuni umat agama mana saja yang beriman dan beramal saleh. Umat Islam yang tak melakukan amal saleh tak secara otomatis masuk surga bahkan bisa masuk ke dalam neraka. Sebaliknya, orang non-Islam yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga. Nabi Muhammad bersabda, “saya melihat seorang pendeta berada di dalam surga sedang memakai baju sutera karena ia beriman”. Yang dimaksud dengan pendeta ini adalah Waraqah ibn Naufal. Hadits lain menyebutkan, “jangan kalian caci Waraqah ibn Naufal, karena saya telah melihatnya di dalam surga”. Allah berfirman dalam QS, al-Anbiya' [21]: 94), “Barang siapa melakukan amal saleh sedang dia beriman, maka tak ada pengingkaran bagi terhadap amalnya itu dan sesungguhnya kami menuliskan amalnya itu untuknya”. Di ayat lain QS, al-Nisa’ [4]: 123) disebutkan, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian (umat Islam) yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan kelompok Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, nisacaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah”
Itulah janji Tuhan buat hambanya. Ayat itu, menurut Rasyad Ridla, menepis imajinasi umat Islam dan Ahli Kitab dan menegaskan bahwa kebahagiaan akhirat hanya terkait dengan iman dan amal saleh. Lebih lanjut Ridla menegaskan bahwa mengaitkan keimanan dengan amal saleh telah menjadi kecenderungan dan tradisi al-Qur'an. Namun, di sebagian umat Islam masih muncul pandangan bahwa yang berhak masuk surga itu hanya umat Islam yang tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah. Begitu juga pandangan di sebagian kaum Yahudi dan Nashrani. Terlepas dari itu, tetap harus dikatakan bahwa persoalan masuk surga dan neraka ini sepenuhnya merupakan hak prerogatif Tuhan yang tak seorang pun bisa dan boleh mengintervensi keputusan-Nya. Hanya Allah yang punya otoritas untuk memasukkan seseorang ke dalam surga dan neraka.
Surga dalam bahasa Arab disebut jannah. Ia dipahami sebagai tempat orang-orang terpilih mendapatkan kenikmatan puncak atas segala amal baik yang dikerjakannya ketika hidup di dunia. Surga adalah imbalan Tuhan atas hamba-hamba-Nya yang beriman dan yang melakukan perbuatan-perbuatan baik. Di surga, Tuhan akan memberikan kesenangan dan kenikmatan. Sebuah hadits riwayat Muslim menggambarkan kenikmatan surga itu dengan kenikmatan yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak pernah terbayang dalam imajinasi dan pikiran manusia (ma la ‘ayn ra’at wa la udzun sami’at wa la khatara ‘ala qalbi basyar). Seluruh perbendaharaan kata tak memadai untuk menggambarkan kenikmatan-kenikmatan surga itu.
Al-Qur’an menjelaskan, di dalam surga segala kebutuhan dan keingina manusia akan dipenuhi. Di surga ada bidadari-bidadari cantik (khayratun hisan), minuman-minuman menyegarkan, dan semua jenis buah-buahan (min kulli fâqihatin). Di bagian bawah surga itu terdapat aliran sungai dengan air yang jernih. Bahkan ada sebuah mitologi bahwa beberapa air sungai di bumi berasal dari surga. Khathib al-Syarbini dalam kitab al-Iqna` (hlm. 5) menjelaskan, air sungai Nil, sungai Gangga, dan Amu Ardaya (Oxus) dialirkan dari surga. Bajuri dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri (Juz I, hlm. 4) menyebutkan sungai Furat (Eufrat) dan Dajlah (Tigris) berasal dari Sidratul Muntaha. Apa yang dikemukakan Khathib al-Syarbini dan Bajuri itu sebuah mitologi. Ia tak didukung fakta, sumber air sungai adalah dalam perut bumi sendiri dan bukan di luarnya. Di samping itu, tak ada dalil Al-Qur’an dan al-Hadits yang mendukung pernyataan tersebut.
Namun, terlepas dari itu, rasanya semua agama menjanjikan surga kepada umatnya. Bukan hanya Islam, agama lain pun seperti Kristen dan Yahudi turut mengkampanyekan surga kepada umat masing-masing. Dalam Injil Matius 5:19 disebutkan, “siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga”. (Matius 5:3) Dalam Al-Qur’an (al-Hajj [22]: 23) disebutkan, “sesungguhnya Allah akan memasukkan orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”. Allah juga berfirman, “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar” (QS, al-Nisa’ [4]: 13-14).
Pertanyaannya, apakah surga itu hanya milik umat agama tertentu? Tidak sedikit umat beragama mengklaim bahwa surga hanya kepunyaan mereka semata. Tempat yang layak bagi orang di luar kelompoknya adalah neraka. Sebagian orang Yahudi pernah berkata bahwa hanya orang-orang Yahudi yang akan masuk surga. Demikian juga orang Kristen; sebagian mereka berpendapat bahwa hanya orang Kristen yang masuk surga. Pandangan eksklusif ini ditentang al-Qur’an. Allah berfirman, “Mereka (sebagian Yahudi dan Nashrani) berkata, “sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nashrani”. Demikian itu hanyalah angan-angan kosong mereka saja. Katakanlah, “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. “Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS, al-Baqarah [2]: 111-112).
Muhammad Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa klaim eksklusif itu dikemukakan orang-orang Yahudi Madinah dan orang-orang Nashrani Najran. Nawawi al-Jawi dalam Marah Labidz, (Juz I, hlm. 30) menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut, “Orang-orang Yahudi Madinah berkata bahwa yang masuk surga hanya orang-orang Yahudi. Tak ada agama selain agama Yahudi. Orang-orang Nashrani Najran juga berkata bahwa yang masuk surga hanyalah orang-orang Nashrani. Tak ada agama selain agama Nashrani. Sama sekali tidak. Selain mereka masuk surga. Yaitu orang-orang yang tulus kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya, berbuat baik dalam semua tindakannya. Baginya adalah pahala yang telah dijanjikan Tuhan-Nya di dalam surga”
Dalam mengomentari ayat di atas, Ibn Katsir dan al-Zamakhsyari menyatakan bahwa yang akan masuk surga itu adalah yaitu orang yang tulus ikhlas hanya kepada Tuhan serta tidak menyekutukan-Nya. Pandangan senada dikemukakan al-Thabari bahwa “man aslama” dalam ayat itu berarti orang-orang yang tunduk-taat hanya kepada Allah. Dengan penjelasan ini sudah cukup untuk menyatakan bahwa orang yang masuk surga tidak harus orang beragama Yahudi atau Kristen atau Islam. Siapa saja di antara umat manusia yang tunduk hanya kepada Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Yang tunduk kepada Allah itu bisa beragama Islam, Kristen, Yahudi, dan sebagainya.
Namun, Ibn Katsir memberikan catatan bahwa yang dimaksud dengan kata “wa huwa muhsin” dalam ayat tersebut berarti orang yang mengikuti Nabi Muhammad. Sebab, menurutnya, sebuah amal bisa diterima jika memenuhi dua persyaratan, yaitu tulus-ikhlas karena Allah dan sesuai atau cocok dengan syari`at (Nabi Muhammad). Jika seseorang hanya tulus ikhlas, tapi amalnya tak sesuai dengan syari`at Nabi Muhammad, maka tak dapat diterima. Sebagai sebuah tafsir, apa yang dikemukakan Ibn Katsir tersebut adalah sah. Namun, penting dikemukakan, bahwa menafsirkan “wa huwa muhsin” dengan orang yang mengikuti Nabi Muhammad adalah tafsir terjauh di luar jangkauan makna leksikal dan semantik kata itu. Karena itu, selain Ibn Katsir, tak mudah ditemukan dari penafsir-penafsir lain yang mengartikan “wa huwa muhsin” dengan mengikuti syari`at Nabi Muhammad.
Terkait dengan kata “aslama” tersebut, di ayat al-Qur’an (Ali `Imran [3]: 19) lain Allah berfirman, “inna al-din ‘inda Allah al-islam” (agama di sisi Allah adalah al-islam). Muhammad Nawawi al-Jawi menafsirkan “al-islam” dalam ayat tersebut sebagai tauhid dan ketundukan kepada syari`at-syari`at yang diturunkan Allah kepada para nabinya. Ayat ini, menurut Nawawi al-Jawi, turun untuk menepis klaim orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani bahwa hanya agama dirinya yang diakui Allah.
Al-Qurthubi berpendapat, “al-islam” dalam ayat tersebut berarti keimanan dan ketaatan terhadap Allah. Sementara kata al-din dalam ayat tersebut berarti ketaatan dan millah). Pendapat ini juga dikemukakan Abu al-`Aliyah dan kalangan Mutakallimin. Sementara al-Zamakhsyari mengartikan kata “al-islam” dalam ayat itu berarti keadilan dan tauhid. Mengikuti pandangan al-Zamakhsyari ini, maka siapa saja yang bertauhid dan berbuat adil akan mendapat ridla Allah. Thabathaba’i mengartikan kata al-islam sebagai mentauhidkan (meng-esa-kan) Allah. Muhammad Nawawi al-Jawi mengartikan “ghair al-islam” dengan tidak bertauhid dan tidak tunduk pada hukum Allah). Di ayat lain disebutkan juga, “wa radhitu lakum al-islam dina”. Kata “al-islam” dalam ayat ini diartikan al-Qurthubi sebagai keimanan dan amal.
Dengan perspektif berbeda, Ibn Katsir mengartikan kata islam tersebut dengan syari`at atau agama yang dibawa Nabi Muhammad. Menurutnya, setelah Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi, maka syari`at-syari`at lain selain syari`at Muhammad SAW tidak akan diterima. Dengan tegas ia berkata, syari`at Nabi Muhammad telah menutup semua jalan menuju Tuhan kecuali jalan Muhammad SAW. Menurut Ibn Katsir, dengan kehadiran Muhammad dan syari`atnya, maka umat Islam tak memerlukan syari`at dan nabi lain. Mengikuti logika pernyataan ini, maka umat beragama yang mengikuti syari`at selain syari`at Nabi Muhammad tertolak, sehingga tak akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Namun, Muhammad Rasyid Ridla menyatakan, keberuntungan dan kebahagiaan di akhirat tak memiliki kaitan dengan jenis-jenis agama yang dipeluk seseorang. Menurutnya, keberuntungan akhirat akan dicapai dengan dua persyaratan pokok, yaitu keimanan dan amal saleh. Karena itu, surga bukan hanya milik sekelompok orang sebagaimana diimajinasikan sebagian umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Rasyid Ridla mendasarkan pandangannya ini pada ayat al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 62) “sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Sabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka.” Muhammad Rasyid Ridla berkata, “Sesungguhnya keberuntungan akhirat itu adalah pasti, karena mereka seorang Muslim, Yahudi, Nashran, atau Shabi’ah. Allah berfirman, sesungguhnya keberuntungan (akhirat) tak terkait dengan jenis-jenis agama, melainkan dengan keimanan yang benar dan perbuatan yang memberikan kemaslahatan buat umat manusia. Oleh karenya, terhapuslah (penyerahan) urusan ketuhanan pada angan-angan umat Islam dan Ahli Kitab. Makin kukuhlah (pandangan) bahwa urusan kebahagiaan akhirat berdasarkan amal saleh dan keimanan yang benar). (Lihat Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz I, hlm. 275).
Jika demikian pandangan al-Qur’an dan diperkuat tafsir para ulama, maka terang bahwa surga tak dimonopoli komunitas suatu agama. Ia adalah milik publik yang bisa dihuni umat agama mana saja yang beriman dan beramal saleh. Umat Islam yang tak melakukan amal saleh tak secara otomatis masuk surga bahkan bisa masuk ke dalam neraka. Sebaliknya, orang non-Islam yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga. Nabi Muhammad bersabda, “saya melihat seorang pendeta berada di dalam surga sedang memakai baju sutera karena ia beriman”. Yang dimaksud dengan pendeta ini adalah Waraqah ibn Naufal. Hadits lain menyebutkan, “jangan kalian caci Waraqah ibn Naufal, karena saya telah melihatnya di dalam surga”. Allah berfirman dalam QS, al-Anbiya' [21]: 94), “Barang siapa melakukan amal saleh sedang dia beriman, maka tak ada pengingkaran bagi terhadap amalnya itu dan sesungguhnya kami menuliskan amalnya itu untuknya”. Di ayat lain QS, al-Nisa’ [4]: 123) disebutkan, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian (umat Islam) yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan kelompok Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, nisacaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah”
Itulah janji Tuhan buat hambanya. Ayat itu, menurut Rasyad Ridla, menepis imajinasi umat Islam dan Ahli Kitab dan menegaskan bahwa kebahagiaan akhirat hanya terkait dengan iman dan amal saleh. Lebih lanjut Ridla menegaskan bahwa mengaitkan keimanan dengan amal saleh telah menjadi kecenderungan dan tradisi al-Qur'an. Namun, di sebagian umat Islam masih muncul pandangan bahwa yang berhak masuk surga itu hanya umat Islam yang tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah. Begitu juga pandangan di sebagian kaum Yahudi dan Nashrani. Terlepas dari itu, tetap harus dikatakan bahwa persoalan masuk surga dan neraka ini sepenuhnya merupakan hak prerogatif Tuhan yang tak seorang pun bisa dan boleh mengintervensi keputusan-Nya. Hanya Allah yang punya otoritas untuk memasukkan seseorang ke dalam surga dan neraka.
9 komentar:
Penghuni surga selain umat Islam memang ada, tapi cuma untuk para ahli kitab terdahulu sebelum nabi Muhammad diutus,
Tapi sesudah Nabi Muhammad diutus oleh Tuhan,maka surga memang monopoli umat muslim saja yang beramal saleh.diluar agama Islam tidak akan pernah bisa masuk surga,
Perkara mereka non muslim ingin masuk surga milik mereka itu hak mereka untuk berpendapat.
Tapi bila mengacu Quran dan hadits sudah jelas sekali,surga Cuma khusus muslim dan muslimah yang beramal baik.
Innad diina indalloohil Islam=Agama yang diterima oleh Allah Cuma agama Islam,
Artinya diluar agama Islam tidak akan pernah bisa masuk ke dalam surga (Yahudi, kresten, Hindu, Budha, Ateis, aliran kepercayaan, Konghucu,dan lain lain Semua semuanya)
Naudzubillah min dzalik,Wallohu Alam...
Islam masuk surga ? Kalo orang islam tapi melakukan maksiat, dosa dll apa masih bisa masuk surga ?? Kunci masuk surga itu lakukan amal saleh dan kebaikan. Percuma beragama tapi gak melakukan amal saleh dan kebaikan mending ateis tapi melakukan kebaikan dan amal saleh
semua agama mengajarkan kebaikan, setiap kebaikan d janjikan dgn pahala. Allah itu maha adil sama seluruh manusia d muka bumi.
thank nice infonya sangat menarik, silahkan kunjungi balik website kami http://bit.ly/2NbLl5k
Bukankah yang kudengar itu bahwa non-muslim masih diberi kesempatan untuk ditimbang amal kebaikan dan keburukannya oleh Allah SWT dan beberapa dari non muslim itu masih ada kesempatan untuk masuk surga walaupun non muslim itu tidak tahu islam sama sekali?
Bukankah non muslim yang baik itu masih ada kesempatan untuk masuk surga walaupun tidak mengenal islam sama sekali ataupun dia kenal tapi tidak menjalaninya di dunia?
Bisakah seorang muslim meminta kepada allah dan nabi Muhammad untuk menarik anggota keluarga, kerabat, teman, rekan, atau sahabatnya yang non muslim yang tidak bersalah dari neraka dan dimasukkan ke surga?
Bukankah non muslim yang baik itu masih ada kesempatan untuk masuk surga walaupun tidak mengenal islam sama sekali ataupun dia kenal tapi tidak menjalaninya di dunia?
Bisakah seorang muslim meminta kepada allah dan nabi Muhammad untuk menarik anggota keluarga, kerabat, teman, rekan, atau sahabatnya yang non muslim yang tidak bersalah dari neraka dan dimasukkan ke surga?
Posting Komentar