Translate

Senin, 19 Januari 2015

Hijrah dari Kebodohan Kepada Ilmu Pengetahuan

 Hijrah dari Kebodohan Kepada Ilmu Pengetahuan
Islam sangat memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Firman Allah Swt yang pertama kali diturunkan kepada Muhammad Saw pun berkenaan dengan keutamaan ilmu pengetahuan.

Allah Swt berfirman, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al ‘Alaq [96]: 1-5).

Ayat di atas berisi pesan bahwasanya Allah Swt adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan Dia menghendaki agar manusia membaca, menelaah, mempelajari, dan merenungkan segala ayat atau tanda-tanda keagungan-Nya. Karena hanya dengan cara itulah seorang manusia bisa mencapai ilmu tertinggi yaitu ilmu tentang keesaan Allah Swt atau tauhid. Tak heran, banyak sekali para ilmuwan, penemu, peneliti yang kemudian menyatakan diri memeluk Islam dan meyakini sepenuh hati akan keberadaan dan kekuasaan Allah Swt. Dengan ilmu pengetahuan juga, seseorang yang memiliki keimanan akan semakin mantap dalam keimanannya terhadap Allah Swt.

Saudaraku, sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya. Ilmu akan menjadi petunjuk bagi seseorang untuk mengarungi hidup dan mencapai kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan yang tak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Sedangkan kebodohan adalah kegelapan. Tanpa ilmu, seseorang bagaikan sedang berjalan di tempat yang sangat gelap dan ia tak tahu dari mana dan akan kemana melangkahkan kakinya. Ia pun tidak akan tahu apakah di depannya tanah datar ataukah jurang yang dalam. Kebodohan bisa mengantarkan seseorang kepada kesesatan di dunia dan di akhirat.

Sehingga tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Sebagaimana firman Allah Swt, “Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az Zumar [39]: 9). Allah Swt tidak menyamakan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Perbedaan di antara mereka adalah seperti orang yang bisa melihat dengan orang yang tidak bisa melihat. Ini menunjukkan betapa vitalnya ilmu pengetahuan di dalam kehidupan seseorang. Sungguh, kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu jauh lebih besar dibandingkan kebutuhannya terhadap makanan dan harta kekayaan.

Akan tetapi sayangnya, masalah kita adalah bahwa ternyata kita kurang hormat kepada ilmu. Padahal di dalam ajaran Islam, orang yang berilmu itu sangat dimuliakan. Orang pencari ilmu itu dinaungi oleh malaikat, dimudahkan jalannya ke surga, dan didoakan oleh seluruh makhluk yang ada di daratan maupun lautan. Demikianlah, betapa seorang pencari ilmu diberi kemuliaan. Apalagi orang yang mencari ilmu, kemudian ia mengamalkan, mengajarkan dan menyebarkannya.

Ilmu pengetahuan itu jauh lebih berharga ketimbang harta kekayaan dan makanan. Seseorang yang memiliki banyak harta kekayaan akan tetapi ia tidak memiliki ilmu, maka ia akan dengan sangat mudah diperdaya. Seseorang yang memiliki banyak makanan akan tetapi tidak memiliki ilmu, maka ia akan dengan mudah ditipu. Sebaliknya dengan orang yang memiliki ilmu. Orang yang berilmu, meskipun ia tidak memiliki makanan atau harta kekayaan, maka ia bisa dengan mudah mencari apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkannya.

Mari kita simak bersama kisah ‘Abdurrahman bin Auf, seorang entrepreneur. Beliau adalah salah seorang sahabat yang turut serta melakukan hijrah bersama Rasulullah Saw dari kota Mekkah ke Madinah. Dalam peristiwa hijrah tersebut, ‘Abdurrahman bin Auf meninggalkan rumah beserta harta kekayaannya di kota Mekkah. Beliau tidak membawanya ke Madinah. Namun, sesampainya di kota Madinah, beliau tidak lantas hidup sengsara atau tenggelam di dalam kefakiran. Beliau bisa kembali memiliki harta kekayaan dalam waktu yang relatif singkat. Itu karena beliau berilmu dan memberdayakan ilmu yang dimilikinya untuk berusaha.

Oleh karena itu, investasi paling besar kita sebagai seorang muslim adalah ilmu pengetahuan. Wajib hukumnya kita menuntut ilmu. Maka, berapapun biaya, seberapa jauhpun jarak, ilmu itu tiada pernah terukur dengan uang dan jarak. Carilah ilmu, belajarlah sepanjang nyawa masih dikandung badan.

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan, “ulama adalah pewaris nabi”. Ungkapan seperti ini tentu tidak muncul begitu saja. Dalam haditsnya, Rasulullah Saw. bersabda, “Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR. Tirmidzi).

Hadits tersebut di atas tidak hanya menjelaskan bahwa para ulama atau para ahli agama adalah lebih utama daripada pada ahli ibadah semata. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa orang-orang yang giat di dalam kegiatan belajar atau menuntut ilmu, itu lebih utama dibandingkan orang yang lebih banyak menyibukkan dirinya untuk menunaikan ritual peribadatan.

Apabila ada di antara kita yang merasa stress dan frustasi, itu adalah tanda kurang ilmu. Karena, usia bertambah, masalah bertambah, akan tetapi ilmu tidak bertambah. Tantangan zaman bertambah, tapi ilmu kita tetep segitu-segitu saja. Sehingga yang malah bertambah adalah degub jantung dan tensi darah. Jika kita kurang ilmu apalagi ditambah dengan kurang iman, maka manakala menghadapi masalah berat, yang muncul adalah emosi dan frustasi.

Sayangnya, kita umat Islam masih terlena di dalam penguasaan teori semata, tanpa membumi menjadi amal atau praktek sehari-hari. Betapa banyak dalil yang kita hafal secara fasih, namun kita masih terbata-bata untuk mengamalkannya di dalam kehidupan nyata. Betapa banyak kita hafal hadits-hadits shahih, namun akhlak kurang shahih. Rasulullah Saw menganjurkan untuk bersikap ramah kepada sesama, namun kenyataannya kita tidak mampu akur dengan tetangga. Bahkan, zaman sekarang tidak aneh jika dengan tetangga jangankan bertegur sapa,  saling kenal pun tidak.

Padahal kita sudah mengetahui bahwa amal itu sangat besar perhitungannya di sisi Allah Swt, terutama amal yang didasarkan dengan ilmu. Kita tentu sering mendengar kisah seorang wanita pezina yang secara tulus hati memberi minum seekor anjing yang hampir mati karena kehausan. Tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kejadian ini. Atas amalnya tersebut, Allah Swt memberi ampunan terhadap wanita itu atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Juga ingatkah kita tentang kisah seorang laki-laki yang telah membunuh seratus orang secara dzalim? Laki-laki ini kemudian bermaksud untuk bertaubat karena menyadari kekeliruannya. Ia berjalan ke berbagai tempat untuk mencari seseorang yang bisa ia jadikan guru untuk melakukan pertaubatan. Singkat cerita, ternyata di pertengahan jalan ia menutup mata untuk selama-lamanya. Meskipun di dalam pandangan manusia, laki-laki ini adalah calon penghuni neraka, namun Allah Swt mengampuni dosa-dosanya karena langkahnya lebih dekat satu langkah saja kepada pertaubatan daripada kepada kemaksiatan.

Hendaklah kita tak jemu menuntut ilmu. Karena ilmu pengetahuan manusia itu sangat terbatas. Masih lebih banyak yang tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui. Namun, anehnya tidak jarang manusia yang dengan keterbatasan ilmunya itu, mudah saja menilai atau menghakimi orang lain. Mudah saja memandang bahwa orang lain hanya sedikit ilmunya. Bahkan, ada yang dengan keterbatasan ilmunya, mudah saja menuduh orang lain sesat bahkan menuding orang lain kafir. Sikap seperti demikian tidak sepatutnya terjadi karena manusia tidak pernah tahu rahasia Allah Swt terhadap manusia.

Ilmu pengetahuan harus menjadi pembimbing amal. Orang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah Swt. Orang berilmu tidak mungkin berani sekehendak diri sendiri memvonis hamba-hamba-Nya. Allah Swt yang telah menciptakan manusia, Allah pula yang mengurus manusia, apakah patut jika kemudian kita malah menilai dan memvonis manusia hanya dengan keterbatasan ilmu yang ada di dalam diri kita.

Ada satu fenomena lagi. Kita sangat hafal dalil tentang kebersihan adalah sebagian dari keimanan. Bahkan kita hafal dalil itu di luar kepala. Namun apa yang terjadi? Tidak perlu jauh-jauh, perhatikan saja keadaan masjid. Apabila kita pergi ke masjid dan bermaksud ke tempat wudlu atau toiletnya, maka kita akan mencarinya dengan mengandalkan indera penciuman kita. Jika sudah tercium – maaf – bau pesing, maka kita tahu bahwa tempat wudlu atau toilet sudah dekat. Selain itu, tidak jarang kita datang ke masjid namun tidak mendapatkan rasa aman dan tentram karena khawatir kehilangan sandal, tas atau barang bawaan lainnya.

Ini gambaran ketika dalil hanya berakhir pada hafalan kita, tidak bermuara pada amal kita. Padahal bukankah masjid adalah tempat ibadah kita. Bukankah masjid adalah tempat da’wah kita. Bukankah masjid pusat kegiatan kita. Bahkan, bukankah masjid simbol agungnya peradaban agama kita. Apa yang terjadi pada kebanyakan masjid kita ini adalah wujud bahwa kita masih lebih banyak beribadah secara ritual semata, tidak membumi menjadi praktek dalam amal perbuatan sehari-hari.

Saudaraku, apabila kita memiliki ilmu, maka kita tidak akan pernah menjadi dihormati atau dihargai atas ilmu yang ada pada diri kita. Kita akan dihargai dan dihormati atas pembuktian atau pengamalan ilmu pengetahuan yang ada pada diri kita. Apalah artinya tahu ilmu shalat kalau tidak menunaikan shalat. Apalah artinya tahu arti penting kebersihan jika tidak memelihara kebersihan.

Ada seorang ibu yang rajin sekali mengikuti pengajian di masjid-masjid. Namun, di rumahnya ia sering kali mendapat protes dari anak-anak dan suaminya. Usut punya usut, rupanya ibu tersebut rajin ikut pengajian tapi tidak rajin menunaikan tanggung jawabnya di rumah. Anak-anak dan suaminya tidak terperhatikan. Keadaan rumah tak beraturan. Hal ini terjadi karena ilmu yang ia peroleh dari pengajian-pengajian itu tidak memberikan efek apa-apa pada kehidupan kesehariannya.

Oleh karena itu, berhijrahlah dari ketidaktahuan kepada kecintaan pada ilmu pengetahuan. Jika sudah memiliki ilmu, maka berhijrahlah terus. Yaitu, berhijrah dari sekedar memiliki ilmu semata, kepada pengamalan ilmu di dalam kehidupan sehari-hari. Berhijrahlah dari sekedar tahu teori, kepada pengamalan teori dengan bukti. Bukti itu jauh lebih meyakinkan daripada teori.

Hijrah dari Kebodohan Kepada Ilmu Pengetahuan

 Hijrah dari Kebodohan Kepada Ilmu Pengetahuan
Islam sangat memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Firman Allah Swt yang pertama kali diturunkan kepada Muhammad Saw pun berkenaan dengan keutamaan ilmu pengetahuan.

Allah Swt berfirman, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al ‘Alaq [96]: 1-5).

Ayat di atas berisi pesan bahwasanya Allah Swt adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan Dia menghendaki agar manusia membaca, menelaah, mempelajari, dan merenungkan segala ayat atau tanda-tanda keagungan-Nya. Karena hanya dengan cara itulah seorang manusia bisa mencapai ilmu tertinggi yaitu ilmu tentang keesaan Allah Swt atau tauhid. Tak heran, banyak sekali para ilmuwan, penemu, peneliti yang kemudian menyatakan diri memeluk Islam dan meyakini sepenuh hati akan keberadaan dan kekuasaan Allah Swt. Dengan ilmu pengetahuan juga, seseorang yang memiliki keimanan akan semakin mantap dalam keimanannya terhadap Allah Swt.

Saudaraku, sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya. Ilmu akan menjadi petunjuk bagi seseorang untuk mengarungi hidup dan mencapai kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan yang tak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Sedangkan kebodohan adalah kegelapan. Tanpa ilmu, seseorang bagaikan sedang berjalan di tempat yang sangat gelap dan ia tak tahu dari mana dan akan kemana melangkahkan kakinya. Ia pun tidak akan tahu apakah di depannya tanah datar ataukah jurang yang dalam. Kebodohan bisa mengantarkan seseorang kepada kesesatan di dunia dan di akhirat.

Sehingga tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Sebagaimana firman Allah Swt, “Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az Zumar [39]: 9). Allah Swt tidak menyamakan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Perbedaan di antara mereka adalah seperti orang yang bisa melihat dengan orang yang tidak bisa melihat. Ini menunjukkan betapa vitalnya ilmu pengetahuan di dalam kehidupan seseorang. Sungguh, kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu jauh lebih besar dibandingkan kebutuhannya terhadap makanan dan harta kekayaan.

Akan tetapi sayangnya, masalah kita adalah bahwa ternyata kita kurang hormat kepada ilmu. Padahal di dalam ajaran Islam, orang yang berilmu itu sangat dimuliakan. Orang pencari ilmu itu dinaungi oleh malaikat, dimudahkan jalannya ke surga, dan didoakan oleh seluruh makhluk yang ada di daratan maupun lautan. Demikianlah, betapa seorang pencari ilmu diberi kemuliaan. Apalagi orang yang mencari ilmu, kemudian ia mengamalkan, mengajarkan dan menyebarkannya.

Ilmu pengetahuan itu jauh lebih berharga ketimbang harta kekayaan dan makanan. Seseorang yang memiliki banyak harta kekayaan akan tetapi ia tidak memiliki ilmu, maka ia akan dengan sangat mudah diperdaya. Seseorang yang memiliki banyak makanan akan tetapi tidak memiliki ilmu, maka ia akan dengan mudah ditipu. Sebaliknya dengan orang yang memiliki ilmu. Orang yang berilmu, meskipun ia tidak memiliki makanan atau harta kekayaan, maka ia bisa dengan mudah mencari apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkannya.

Mari kita simak bersama kisah ‘Abdurrahman bin Auf, seorang entrepreneur. Beliau adalah salah seorang sahabat yang turut serta melakukan hijrah bersama Rasulullah Saw dari kota Mekkah ke Madinah. Dalam peristiwa hijrah tersebut, ‘Abdurrahman bin Auf meninggalkan rumah beserta harta kekayaannya di kota Mekkah. Beliau tidak membawanya ke Madinah. Namun, sesampainya di kota Madinah, beliau tidak lantas hidup sengsara atau tenggelam di dalam kefakiran. Beliau bisa kembali memiliki harta kekayaan dalam waktu yang relatif singkat. Itu karena beliau berilmu dan memberdayakan ilmu yang dimilikinya untuk berusaha.

Oleh karena itu, investasi paling besar kita sebagai seorang muslim adalah ilmu pengetahuan. Wajib hukumnya kita menuntut ilmu. Maka, berapapun biaya, seberapa jauhpun jarak, ilmu itu tiada pernah terukur dengan uang dan jarak. Carilah ilmu, belajarlah sepanjang nyawa masih dikandung badan.

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan, “ulama adalah pewaris nabi”. Ungkapan seperti ini tentu tidak muncul begitu saja. Dalam haditsnya, Rasulullah Saw. bersabda, “Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR. Tirmidzi).

Hadits tersebut di atas tidak hanya menjelaskan bahwa para ulama atau para ahli agama adalah lebih utama daripada pada ahli ibadah semata. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa orang-orang yang giat di dalam kegiatan belajar atau menuntut ilmu, itu lebih utama dibandingkan orang yang lebih banyak menyibukkan dirinya untuk menunaikan ritual peribadatan.

Apabila ada di antara kita yang merasa stress dan frustasi, itu adalah tanda kurang ilmu. Karena, usia bertambah, masalah bertambah, akan tetapi ilmu tidak bertambah. Tantangan zaman bertambah, tapi ilmu kita tetep segitu-segitu saja. Sehingga yang malah bertambah adalah degub jantung dan tensi darah. Jika kita kurang ilmu apalagi ditambah dengan kurang iman, maka manakala menghadapi masalah berat, yang muncul adalah emosi dan frustasi.

Sayangnya, kita umat Islam masih terlena di dalam penguasaan teori semata, tanpa membumi menjadi amal atau praktek sehari-hari. Betapa banyak dalil yang kita hafal secara fasih, namun kita masih terbata-bata untuk mengamalkannya di dalam kehidupan nyata. Betapa banyak kita hafal hadits-hadits shahih, namun akhlak kurang shahih. Rasulullah Saw menganjurkan untuk bersikap ramah kepada sesama, namun kenyataannya kita tidak mampu akur dengan tetangga. Bahkan, zaman sekarang tidak aneh jika dengan tetangga jangankan bertegur sapa,  saling kenal pun tidak.

Padahal kita sudah mengetahui bahwa amal itu sangat besar perhitungannya di sisi Allah Swt, terutama amal yang didasarkan dengan ilmu. Kita tentu sering mendengar kisah seorang wanita pezina yang secara tulus hati memberi minum seekor anjing yang hampir mati karena kehausan. Tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kejadian ini. Atas amalnya tersebut, Allah Swt memberi ampunan terhadap wanita itu atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Juga ingatkah kita tentang kisah seorang laki-laki yang telah membunuh seratus orang secara dzalim? Laki-laki ini kemudian bermaksud untuk bertaubat karena menyadari kekeliruannya. Ia berjalan ke berbagai tempat untuk mencari seseorang yang bisa ia jadikan guru untuk melakukan pertaubatan. Singkat cerita, ternyata di pertengahan jalan ia menutup mata untuk selama-lamanya. Meskipun di dalam pandangan manusia, laki-laki ini adalah calon penghuni neraka, namun Allah Swt mengampuni dosa-dosanya karena langkahnya lebih dekat satu langkah saja kepada pertaubatan daripada kepada kemaksiatan.

Hendaklah kita tak jemu menuntut ilmu. Karena ilmu pengetahuan manusia itu sangat terbatas. Masih lebih banyak yang tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui. Namun, anehnya tidak jarang manusia yang dengan keterbatasan ilmunya itu, mudah saja menilai atau menghakimi orang lain. Mudah saja memandang bahwa orang lain hanya sedikit ilmunya. Bahkan, ada yang dengan keterbatasan ilmunya, mudah saja menuduh orang lain sesat bahkan menuding orang lain kafir. Sikap seperti demikian tidak sepatutnya terjadi karena manusia tidak pernah tahu rahasia Allah Swt terhadap manusia.

Ilmu pengetahuan harus menjadi pembimbing amal. Orang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah Swt. Orang berilmu tidak mungkin berani sekehendak diri sendiri memvonis hamba-hamba-Nya. Allah Swt yang telah menciptakan manusia, Allah pula yang mengurus manusia, apakah patut jika kemudian kita malah menilai dan memvonis manusia hanya dengan keterbatasan ilmu yang ada di dalam diri kita.

Ada satu fenomena lagi. Kita sangat hafal dalil tentang kebersihan adalah sebagian dari keimanan. Bahkan kita hafal dalil itu di luar kepala. Namun apa yang terjadi? Tidak perlu jauh-jauh, perhatikan saja keadaan masjid. Apabila kita pergi ke masjid dan bermaksud ke tempat wudlu atau toiletnya, maka kita akan mencarinya dengan mengandalkan indera penciuman kita. Jika sudah tercium – maaf – bau pesing, maka kita tahu bahwa tempat wudlu atau toilet sudah dekat. Selain itu, tidak jarang kita datang ke masjid namun tidak mendapatkan rasa aman dan tentram karena khawatir kehilangan sandal, tas atau barang bawaan lainnya.

Ini gambaran ketika dalil hanya berakhir pada hafalan kita, tidak bermuara pada amal kita. Padahal bukankah masjid adalah tempat ibadah kita. Bukankah masjid adalah tempat da’wah kita. Bukankah masjid pusat kegiatan kita. Bahkan, bukankah masjid simbol agungnya peradaban agama kita. Apa yang terjadi pada kebanyakan masjid kita ini adalah wujud bahwa kita masih lebih banyak beribadah secara ritual semata, tidak membumi menjadi praktek dalam amal perbuatan sehari-hari.

Saudaraku, apabila kita memiliki ilmu, maka kita tidak akan pernah menjadi dihormati atau dihargai atas ilmu yang ada pada diri kita. Kita akan dihargai dan dihormati atas pembuktian atau pengamalan ilmu pengetahuan yang ada pada diri kita. Apalah artinya tahu ilmu shalat kalau tidak menunaikan shalat. Apalah artinya tahu arti penting kebersihan jika tidak memelihara kebersihan.

Ada seorang ibu yang rajin sekali mengikuti pengajian di masjid-masjid. Namun, di rumahnya ia sering kali mendapat protes dari anak-anak dan suaminya. Usut punya usut, rupanya ibu tersebut rajin ikut pengajian tapi tidak rajin menunaikan tanggung jawabnya di rumah. Anak-anak dan suaminya tidak terperhatikan. Keadaan rumah tak beraturan. Hal ini terjadi karena ilmu yang ia peroleh dari pengajian-pengajian itu tidak memberikan efek apa-apa pada kehidupan kesehariannya.

Oleh karena itu, berhijrahlah dari ketidaktahuan kepada kecintaan pada ilmu pengetahuan. Jika sudah memiliki ilmu, maka berhijrahlah terus. Yaitu, berhijrah dari sekedar memiliki ilmu semata, kepada pengamalan ilmu di dalam kehidupan sehari-hari. Berhijrahlah dari sekedar tahu teori, kepada pengamalan teori dengan bukti. Bukti itu jauh lebih meyakinkan daripada teori.

Tidak ada komentar: