Pernahkah
ada yang membaca kalimat seperti judul diatas atau sejenisnya? Ya
seperti “Kebenaran hanya milik Tuhan, manusia tidak tahu kebenaran”,
“hanya Tuhan yang boleh menghakimi, manusia tidak boleh menghakimi”,
“benar tidaknya hanya Allah yang tahu, kita tidak boleh menilai orang
salah atau benar”, dst.
Sepintas mungkin terlihat benar, sepintas mungkin memang terlihat
indah, sepintas tidak ada masalah pada kalimat-kalimat tersebut. Tapi
jika diperhatikan lebih lanjut, ada masalah dalam kalimat-kalimat
tersebut. Memang, hanya Allah lah Yang Mahatahu segalanya, kebenaran
hakiki hanyalah milik Allah semata. Namun, jika memang kebenaran itu
hanya Allah yang tahu, lalu bagaimana kita bisa hidup dalam kebenaran?
Sedangkan Rasulullah mengajarkan kita untuk hidup dalam kebenaran, dalam
kebaikan, dalam nilai-nilai Ilahi.
Ya, itu memang ucapan-ucapan yang sering digembar-gemborkan oleh
orang-orang yang memiliki agenda merusak pola pikir umat Islam
(contohnya JIL), atau mungkin orang-orang yang menjadi korban mereka. Di
tangan mereka, di ucapan mereka, kebenaran menjadi relatif, kebenaran
menjadi tergantung siapa yang mendefinisikan kebenaran tersebut,
termasuk kebenaran dalam hal agama Islam ini. Liberal sekali!
Orang-orang jadi ragu untuk menyatakan mana yang salah dan mana yang
benar. Orang-orang jadi ragu untuk mencegah kemungkaran dan malas untuk
mengajak kepada kebaikan, karena semuanya relatif, karena hanya Tuhanlah
yang tahu apa itu kebenaran. Begitukah?
Seperti yang saya sebutkan tadi, jika memang kebenaran hanya Tuhan
yang tahu, jika memang manusia sama sekali tidak boleh menghakimi lalu
bagaimana kita harus menilai mana yang salah dan benar? Lalu apa gunanya
hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah? Jadi, apakah
kebenaran itu?
Kebenaran adalah apa-apa yang berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala dan disampaikan oleh Rasul-Nya yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa
saja yang diperintahkan-Nya maka itulah yang harus kita ikuti, karena
itu kebenaran. Apa saja yang dilarang-Nya maka itulah yang harus kita
hindari, itulah kebenaran. Allah melarang kita makan babi dan bangkai,
maka makan babi dan bangkai itu salah. Allah melarang kita untuk berzina
maka berzina adalah salah. Rasulullah tidak pernah menyentuh wanita
yang bukan mahramnya maka itulah yang benar. Begitulah seterusnya.
Adakah kebenaran yang relatif? Ya ada, yaitu kebenaran yang berasal
dari penemuan manusia, seperti F=m.a, 1+1 =2, dan produk-produk manusia
lainnya. Karena manusia memang bisa salah, bahkan memang tempat salah.
Namun bagaimana dengan Al-Qur’an? tentu tidak, kebenarannya mutlak.
Bagaimana dengan hadits Nabi (yang shahih)? tentu benar. Namun
memang, untuk memahami Al-Qur’an dan hadits memang perlu ilmunya, tidak
sembarang orang boleh menafsirkan semaunya. Itulah yang bisa salah,
bukan kandungannya yang salah.
Lalu apakah betul kebenaran hanya Allah yang tahu? Kebenaran memang
milik Allah, tapi Allah telah mengajarkannya kepada kita melalui lisan
Rasul-Nya dan para sahabat-sahabat Nabi, hingga kini diwarisi oleh para
ulama yang senantias berpegang teguh dengan sunnahnya. Jadi, jangan
sampai kita ragu akan kebenaran yang memang datangnya dari Allah, jangan
ragu mencegah kemungkaran, dan jangan ragu menyampaikan kebenaran,
dengan cara yang benar tentunya.
wallahu a’lam bish shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar