ORANG YANG BERJALAN DI ATAS AIR
Seorang darwis yang
berpegang kepada kaidah, yang berasal dari mazhab yang saleh, pada suatu hari
berjalan menyusur tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada berbagai masalah
moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian pengajaran Sufi
dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama, perasaan, dengan pencarian kebenaran
mutlak.
Tiba-tiba renungannya
terganggu oleh teriakan keras: Seseorang terdengar mengulang-ulang suatu
ungkapan darwis. Tak ada gunanya itu, katanya kepada diri sendiri. Sebab orang
itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya diucapkannya yâ hû, tapi ia
mengucapkannya u yâ hû.
Kemudian ia menyadari bahwa
sebagai darwis yang lebih teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan
ucapan orang itu. Mungkin orang itu tidak pernah mempunyai kesempatan mendapat
bimbingan yang baik, dan karenanya telah berbuat sebaik-baiknya untuk
menyesuaikan diri dengan gagasan yang ada di balik suara yang diucapkannya itu.
Demikianlah darwis yang
pertama itu menyewa perahu dan pergi ke pulau di tengah-tengah arus sungai,
tempat asal suara yang didengarnya tadi.
Didapatinya orang itu duduk
di sebuah gubuk alang-alang, bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti
ungkapan yang diucapkannya itu. Sahabat, kata darwis pertama, Anda keliru
mengucapkan ungkapan itu. Saya berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Anda,
sebab ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasihat. Inilah ucapan
yang benar. Lalu ia memberitahukannya ucapan itu. Terimakasih, kata darwis yang
lain itu dengan rendah hati.
Darwis pertama turun ke
perahunya lagi, sangat puas, sebab baru saja berbuat amal. Bagaimana pun kalau
orang boleh mengulang-ulang ungkapan rahasia itu dengan benar, ada kemungkinan
boleh berjalan di atas air. Hal itu memang belum pernah disaksikannya sendiri,
tetapi berdasarkan alasan tertentu- darwis pertama itu ingin sekali boleh
melakukannya. Kini ia tak mendengar lagi suara gubuk alang-alang itu, tapi ia
yakin bahwa nasihatnya telah dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kemudian didengarnya lagi ucapan
u yâ hû yang keliru itu ketika darwis yang di pulau tersebut mulai
mengulang-ulang ucapannya.... Ketika darwis pertama merenungkan hal itu,
memikirkan betapa manusia memang suka bersikeras mempertahankan kekeliruan,
tiba-tiba disaksikannya pemandangan yang menakjubkan. Dari arah pulau itu,
darwis kedua tadi tampak menuju perahunya, berjalan di atas air....
Karena takjubnya, ia pun
berhenti mendayung. Darwis kedua pun mendekatinya, katanya, Saudara, maaf saya
mengganggu Anda. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan
ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit benar rasanya
mengingat-ingatnya
TUHAN MELIHAT HATIMU
Pada suatu hari, Hasan
Al-Basri pergi mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi besar lain. Pada waktu
salatnya, Hasan mendengar Ajmi banyak melafalkan bacaan salatnya dengan keliru.
Oleh karena itu, Hasan memutuskan untuk tidak salat berjamaah dengannya. Ia
menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk salat bersama orang yang tak
boleh mengucapkan bacaan salat dengan benar.
Di malam harinya, Hasan
Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Hasan, jika saja
kau berdiri di belakang Habib Ajmi dan menunaikan salatmu, kau akan memperoleh
keridaan-Ku, dan salat kamu itu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar
daripada seluruh salat dalam hidupmu. Kau mencoba mencari kesalahan dalam
bacaan salatnya, tapi kau tak melihat kemurnian dan kesucian hatinya.
Ketahuilah, Aku lebih menyukai hati yang tulus daripada pengucapan tajwid yang
sempurna.
TIGA NASIHAT
Pada suatu hari, ada
seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, Aku tak berguna
bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat.
Si burung berjanji akan
memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua
akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika
ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia
meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu,
meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal.
Orang itu pun melepaskannya
dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua,
Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada
bukti.
Kemudian burung itu terbang
ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai
manusia malang!
Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau
akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun
katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu!
Si burung menjawab,
Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau
renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau
kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau
malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan
menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata
besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang
disediakan bagi manusia.
(Catatan: Dalam lingkungan
darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi,
menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara
biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini
terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan
dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah seorang guru Rumi. Kedua
tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.)
KEPERLUAN YANG MAKIN MENDESAK
Pada suatu malam, seorang
penguasa tiran di Turkistan sedang
mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh seorang darwis. Tiba-tiba
bertanya tentang Nabi Khidir. Khidir, kata darwis itu, datang kalau diperlukan.
Tangkap dan jubahkan ia kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik
paduka. Apakah itu boleh terjadi pada siapa pun? Siapa pun boleh, kata darwis
itu.
Siapa pula lebih boleh
dariku? fikir sang Raja; dan ia pun mengedarkan pengumuman: Barangsiapa boleh
menghadirkan Khidir yang gaib, akan kujadikan orang kaya.
Seorang lelaki miskin dan
buta bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu menyusun akal. Ia
berkata kepada istrinya, Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi
beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun, hal itu tidak mengapa, sebab
kekayaan kita itu boleh menghidupimu selamanya
Kemudian Bakhtiar menghadap
Raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Khidir dalam waktu empat puluh hari,
kalau Raja bersedia memberinya seribu keping emas. Kalau kau boleh menemukan
Khidir, kata Raja, kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping wang emas ini.
Kalau gagal, kau akan mati, dipancung di tempat ini sebagai peringatan kepada
siapa pun yang akan mencoba mempermainkan rajanya.
Bakhtiar menerima syarat
itu. Ia pun pulang dan memberikan wang itu kepada istrinya, sebagi jaminan hari
tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu dipergunakannya untuk
merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.
Pada hari keempat puluh ia
menghadap Raja. Yang Mulia, katanya, kerakusanmu telah menyebabkan kau berfikir
bahwa wang akan boleh mendatangkan Khidir. Tetapi Khidir, kata orang, tidak
akan muncul oleh panggilan yang berdasarkan kerakusan.
Sang Raja sangat marah,
Orang celaka, kau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri
keinginan seorang raja?
Bakhtiar berkata, Menurut
dongeng, semua orang boleh bertemu Khidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada
manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Khidir akan menemui
orang selama ia boleh memanfaatkan saat kunjungannya itu. Itulah hal yang kita
tidak menguasainya.
Cukup ocehan itu, kata sang
Raja, sebab tak akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri
yang berkumpul di sini agar memberikan nasihatnya tentang cara yang terbaik
untuk menghukummu.
Ia menoleh ke Menteri
Pertama dan bertanya, Bagaimana cara orang itu mati? Menteri Pertama menjawab,
Panggang dia hidup-hidup sebagai peringatan.
Menteri Kedua, yang
berbicara sesuai urutannya, berkata, Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan
anggota badannya.
Menteri Ketiga berkata,
Sediakan kebutuhan hidup orang itu agar ia tidak lagi mau menipu demi
kelangsungan hidup keluarganya.
Sementara pembicaraan itu
berlangsung, seseorang yang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki rwang
pertemuan. Ia berkata, Setiap orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka
yang tersembunyi di dalam dirinya.
APA MAKSUDMU, TANYA RAJA.
Maksudku, Menteri Pertama
itu aslinya Tukang Roti, jadi ia berbicara tentang panggang memanggang. Menteri
Kedua, dulunya Tukang Daging, jadi ia berbicara tentang potong memotong daging.
Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah
yang kita bicarakan ini. Catat dua hal ini, pertama, Khidir muncul melayani
setiap orang sesuai kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya.
Kedua, Bakhtiar, orang ini yang kuberi nama Baba (Bapak dalam bahasa Parsi,
-red.) karena pengorbanannya- telah didesak oleh keputusasaannya untuk
melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga aku pun
muncul di depanmu.
Ketika orang-orang itu
memperhatikannya, orang tua yang bijaksana itu pun lenyap begitu saja. Sesuai
yang diperintahkan Khidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar.
Menteri Pertama dan Kedua dipecat, dan seribu keping wang emas itu dikembalikan
ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya.
(Catatan: Konon, Bakhtiar
Baba adalah seorang sufi bijaksana, yang hidupnya sangat sederhana dan tak
dikenal orang di Khurasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi.
Kisah ini, dikatakan juga terjadi pada sejumlah besar syekh sufi lain dan
menggambarkan pengertian tentang terjalinnya keinginan manusia dengan makhluk
lain. Khidir merupakan penghubung antara keduanya. Judul ini diambil dari
sebuah sajak terkenal karya Jalaluddin Rumi: Peralatan baru bagi pemahaman akan
ada apabila keperluan menuntutnya/ Karenanya, wahai manusia, jadikan
keperluanmu makin mendesak/ Sehingga engkau boleh mendesakkan pemahamanmu lebih
peka lagi.)
NASIHAT DARWISY UNTUK RAJA ZALIM
Sa'di bercerita; Alkisah,
Seorang raja yang zalim berkenan memanggil seorang darwis ke istananya untuk
memberi nasihat. Ketika sufi itu datang, Raja Zalim berkata, "Berikan aku
nasihat. Amal apa yang paling utama untuk aku lakukan sebagai bekalku ke
akhirat nanti?"
Sang darwis menjawab,
"Amal terbaik untuk baginda adalah tidur." Raja itu kehairanan,
"Mengapa?" "Karena ketika tidur," jawab sufi itu,
"baginda berhenti menzalimi rakyat. Ketika baginda tidur, rakyat dapat
beristirahat dari kezaliman."
BAYAZID AL-BUSTHAMI PERGI BERHAJI
Seorang tokoh sufi besar,
Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali
pertama, ia menangis. "Aku belum berhaji," isaknya, "karena yang
aku lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja."
Ia pun pergi haji pada
kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis,
"Aku masih belum berhaji," ucapnya masih di sela tangisan, "yang
aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya."
Pada haji yang ketiga,
Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. "Karena kali ini,"
ucap Bayazid, "aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa
ta'ala...."
KEPALA IKAN UNTUK SANG NELAYAN
Seorang nelayan salih di Tunisia
tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia
melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan
seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan
sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru
kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi
seorang syaikh seperti gurunya.
Suatu saat, salah seorang
murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu
memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan
agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.
Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi.
Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang
menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak
suatu bukit. "Itulah rumah Syaikh," ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia
berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri,
yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia
pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang perjalanan ia
melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi,
domba, dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya,
selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak
itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri
sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi
seorang guru sufi.
Ketika tiba ia di puri
tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang
disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam
mimpinya. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya
ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para
pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang
dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk
bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang
mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan
sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal
kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan
senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu
muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan
surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa
menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri
dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid
itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram
ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, "Katakanlah pada gurumu, masalahnya
adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia."
Tatkala murid itu kembali
ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat
bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia
memang telah menemuinya. "Lalu," tanya nelayan itu, "apakah ia
menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?"
Pada awalnya, si murid
enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat
betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya
kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus
memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh
Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah
kehairanan, bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani
menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.
"Dia benar,"
jawab sang nelayan, "ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada
padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu
aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.
BAHLUL DAN TAHTA RAJA
Bahlul, si tolol yang
bijaksana, sering menyembunyikan kecendekiaannya di balik tabir kegilaan.
Dengan itu, ia dapat keluar masuk istana Harun Al-Rasyid dengan bebasnya. Sang
Raja pun amat menghargai bimbingannya.
Suatu hari, Bahlul masuk ke
istana dan menemukan singgasana Raja kosong. Dengan enteng, ia langsung mendudukinya.
Menempati tahta Raja termasuk ke dalam kejahatan berat dan boleh dihukum mati. Para pengawal menangkap Bahlul, menyeretnya turun dari
tahta, dan memukulinya. Mendengar teriakan Bahlul yang kesakitan, Raja segera
menghampirinya.
Bahlul masih menangis keras
ketika Raja menanyakan sebab keributan ini kepada para pengawal. Raja berkata
kepada yang memukuli Bahlul, “Kasihan! Orang ini gila. Mana ada orang waras
yang berani menduduki singgasana Raja?” Ia lalu berpaling ke arah Bahlul,
“Sudahlah, tak usah menangis. Jangan kuatir, cepat hapus air matamu.” Bahlul
menjawab, “Wahai Raja, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis. Aku
menangis karena kasihan terhadapmu!”
“Kau mengasihaniku?” Harun
mengherdik, “Mengapa engkau harus menangisiku?” Bahlul menjawab, “Wahai Raja,
aku cuma duduk di tahtamu sekali tapi mereka telah memukuliku dengan begitu
keras.
Apalagi kau, kau telah
menduduki tahtamu selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa yang akan kau
terima? Aku menangis karena memikirkan nasibmu yang malang…
TUGAS MURID JUNAID
Junaid Al-Baghdadi, seorang
tokoh sufi, mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid
yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi
perhatian khusus kepada anak itu.
Suatu saat, Junaid menyuruh
semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya.
Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat
di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka
harus dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri
kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya
ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih
hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu
tak boleh melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap
santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri
pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu
mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua
bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela,
membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga
berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup
matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan
ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu
memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan
membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda
yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak
dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku
tak ada tempat di mana Dia tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia
masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku.
Aku tak boleh pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku.
MUSA DAN SEORANG WALI TUHAN
Musa as meminta Tuhan menunjukkan
salah satu wali-Nya. Tuhan memerintahkan Musa untuk pergi ke sebuah lembah. Di
tempat itu, Musa menemukan seseorang yang berpakaian compang-camping,
kelaparan, dan dikerubungi lalat.
Musa bertanya, “Adakah
sesuatu yang dapat aku lakukan untukmu?”
Orang itu menjawab, “Wahai
utusan Tuhan, tolong bawakan aku segelas air.” Ketika Musa kembali dengan
segelas air, orang itu telah meninggal dunia. Musa pergi lagi untuk mencari
sehelai kain untuk membungkus mayatnya, agar ia dapat menguburkannya. Ketika ia
kembali ke tempat itu, mayatnya telah habis dimakan singa. Musa merasa
tertekan, ia berdoa, “Tuhan, Engkau menciptakan semua manusia dari tanah. Ada yang berbahagia tapi
ada juga yang tersiksa dan hidup menderita. Aku tak dapat mengerti ini semua.”
Suara Yang Agung menjawab, “Orang itu bergantung kepada-Ku untuk semua hal.
Tapi kemudian ia bergantung padamu untuk satu minuman. Dia tak boleh lagi
meminta bantuan kepada orang lain kalau ia telah rida dengan-Ku.”
IBRAHIM DAN KEMATIAN
Suatu hari, Malaikat Maut
datang menemui Nabi Ibrahim as untuk mengambil nyawanya. Ibrahim bertanya, “Apa
kau pernah melihat seorang kekasih mematikan orang yang dikasihinya?”
Tuhan menjawab Ibrahim,
“Apa kau pernah melihat seorang kekasih tak mau pergi menjumpai orang yang dikasihinya?”
BUKTI CINTA PADA NABI
Alkisah, di negeri Arab ada
seorang janda miskin yang mempunyai anak. Karena anaknya menangis kelaparan,
janda itu terpaksa harus meninggalkan rumahnya untuk berkelana mencari wang. Di
depan sebuah masjid, ia bertemu seorang muslim dan meminta bantuan. Anakku
yatim dan kelaparan, aku minta pertolonganmu, kata janda itu. Mana buktinya?
Lelaki muslim bertanya. Janda itu tidak boleh membuktikan karena ia sendiri
orang asing di tempat itu. Akhirnya lelaki muslim itu tidak menolongnya.
Setelah itu, janda miskin
bertemu dengan seorang Majusi. Ia pun meminta pertolongannya. Orang Majusi itu
membawanya ke rumahnya dan memuliakannya dengan memberikan wang dan pakaian.
Pada malam harinya, lelaki
muslim yang menolak menolong itu bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Semua
orang mendatangi Nabi dan Nabi menyambut orang-orang itu dengan baik. Ketika
tiba giliran lelaki itu mendatang Rasulullah saw, Nabi mengusirnya dan
menyuruhnya pergi. Lelaki itu berteriak, Ya Rasulullah, aku ini umatmu yang
mencintaimu juga. Rasulullah saw bertanya, Mana buktinya?
Lelaki itu tersadar bahwa
Rasulullah saw menyindirnya karena ia telah meminta bukti saat diminta
pertolongan. Ia menangis. Rasulullah saw lalu menunjukkan sebuah taman yang
indah dan gedung yang megah di surga. Lihat ini, kata Rasulullah saw,
seharusnya aku berikan semua ini untukmu. Tapi karena kau tidak menolong janda
dan anak yatim itu, aku berikan semua ini pada seorang Majusi.
Pagi harinya, lelaki itu
terbangun. Dia lalu mencari janda miskin dan ternyata dia menemukannya sedang
berada di rumah seorang Majusi. Ikutlah kau bersamaku, pinta lelaki itu kepada
si janda. Tetapi orang Majusi tidak mau menyerahkannya. Aku akan beri kau
ribuan dinar asal kau mau menyerahkannya, lelaki muslim berkata. Orang Majusi
tetap tidak mau. Lelaki muslim itu akhirnya jengkel dan berkata, Janda ini
adalah orang Islam. Seharusnya yang menolongnya adalah sesama muslim juga!
Orang Majusi itu lalu
bercerita, Tadi malam aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Beliau berkata bahwa
beliau akan memberikan kepadaku surga yang semula akan diberikan kepadamu.
Ketahuilah bahwa pagi ini ketika aku terbangun, aku langsung masuk Islam dan
menjadi pengikut Rasulullah saw karena aku telah menunjukkan bukti bahwa aku
adalah salah seorang pecintanya.
Lelaki Majusi itu telah
menunjukkan bukti kecintaannya kepada Rasulullah saw dengan memberikan
pertolongan kepada orang yang memerlukan.
KISAH RAJA DAN BUDAK HITAM
Raja Harun Al-Rasyid,
seorang dari keturunan Bani Abbasiyah, memiliki seorang budak perempuan yang
berparas buruk, berkulit hitam, dan tidak enak dipandang mata.
Pada suatu hari, Raja
menaburkan wang untuk semua budaknya. Para
budak saling berebut dan berlomba untuk mendapatkan wang tersebut kecuali
seorang budak perempuan hitam yang buruk rupa itu. Ia tetap diam dan hanya
memandang wajah Baginda.
Raja merasa amat kehairanan
dan bertanya, Mengapa kau diam saja? Ikutlah bersama teman-temanmu
memperebutkan wang.
Budak itu menjawab, Wahai
Baginda khalifah, jika semua budak berlomba untuk mendapatkan wang taburan
Baginda, maka yang hamba impikan berbeda dengan mereka. Yang hamba angankan
bukan wang taburan itu tapi yang hamba inginkan adalah sang pemilik wang
taburan itu.
Mendengar jawaban budak
itu, Raja Harun tercengang dan merasa takjub. Karena rasa kagumnya, ia jadikan
budak itu sebagai permaisurinya.
Berita perkawinan seorang
raja dengan budaknya tersebar kepada para pejabat lainnya. Mereka semua
mencemooh Raja Harun dan mencela Raja yang mempersunting seorang budak hitam.
Raja mendengar semua cemoohan ini, ia lalu mengumpulkan semua pejabat itu dan
menegur mereka.
Kemudian Raja memerintahkan
untuk mengumpulkan semua budak di negerinya. Ketika semua budak telah berkumpul
di hadapan Raja, Raja memberikan kepada masing-masing budak segelas berlian
untuk dihancurkan.
Namun, semua budak menolak
pemberian itu. Kecuali si budak hitam yang buruk rupa itu. Tanpa ragu, gelas
itu diterima dan ia pecahkan. Menyaksikan hal ini, para pejabat itu berkata,
Lihatlah budak hitam yang berperilaku sangat menjijikan ini!
Raja lalu menoleh ke arah budak hitamnya dan
bertanya, Mengapa kau hancurkan gelas itu? Budak hitam menjawab, Aku lakukan
hal ini karena perintahmu.
Menurut pendapat hamba,
jika gelas ini aku pecahkan, berarti aku telah mengurangi perbendaharaan
Khalifah.
Tapi jika hamba tidak
lakukan perintah Tuan, berarti aku telah melanggar titah Khalifah. Bila gelas
ini hamba hancurkan, hamba pastilah seorang yang gila. Namun bila gelas ini
tidak hamba pecahkan, berarti hamba telah melanggar perintah Khalifah.
Bagiku, pilihan yang
pertama lebih mulia daripada yang kedua. Mendengar jawaban yang singkat itu,
semua pejabat yang hadir di tempat itu tercengang dan mengakui kecerdasan budak
hitam itu. Akhirnya mereka menaruh hormat kepadanya dan memahami mengapa sang
Khalifah jatuh hati kepadanya.
TAUBAT SANG PEMBUNUH
Seorang pembunuh yang amat
kejam telah menghabisi nyawa sembilan puluh sembilan orang. Ia merasa sangat
menyesal. Ia mendatangi seorang alim dan bercerita tentang masa lalunya yang
kelabu itu. Ia mengutarakan maksudnya untuk bertaubat dan menjadi orang yang
lebih baik. Aku ingin tahu; apakah Tuhan akan mengampuniku?? ia bertanya.
Sang alim rupanya belum
cukup banyak belajar. Ia menjawab, Tentu saja kau tak akan diampuni-Nya. Kalau
begitu, ujar si pembunuh, lebih baik kau juga kubunuh saja sekalian. Ia pun
membunuh alim itu. Kemudian ia bertemu orang alim lain. Ia mengatakan telah
membunuh seratus orang. Aku ingin tahu, tanyanya, apakah Tuhan akan
mengampuniku jika aku bertaubat?
Alim kedua ini lebih bijak
dari yang pertama. Ia menjawab, Tentu saja kau akan diampuni. Bertaubatlah
sekarang juga. Aku hanya punya satu nasihat untukmu; jauhilah teman-temanmu
yang jahat dan bergabunglah dengan orang-orang yang saleh, karena teman yang
jahat akan mendekatkanmu kepada dosa.
Orang itu lalu bertaubat
dan menyesali dosa-dosanya. Ia menangis memohon ampunan Tuhan. Kemudian ia pun
menjauhi teman-temannya yang jahat dan pergi mencari perkampungan tempat
orang-orang saleh tinggal. Namun ketika ia berada di perjalanan, ajalnya tiba.
Malik, Malaikat Penjaga
Neraka, dan Ridwan, Malaikat Penjaga Surga, sama-sama datang untuk menjemput
ruhnya. Malik berkata bahwa orang itu adalah pendosa besar dan tempatnya di
neraka jahanam. Tetapi Ridwan juga mengklaim bahwa orang itu layak masuk surga.
Malaikat Ridwan berkata, Orang ini bertaubat dan telah memutuskan untuk menjadi
orang baik. Ia sedang menempuh perjalanan ke kampung tempat tinggal orang-orang
saleh ketika ajalnya tiba.
Kedua malaikat itu pun
berdebat. Jibril datang untuk menyelesaikan masalah. Setelah mendengar
pernyataan dari kedua malaikat, Jibril memutuskan, Ukur jaraknya. Jika tanah
tempat mayatnya berada lebih dekat kepada orang-orang saleh, maka ia masuk
surga; namun jika letak mayatnya lebih dekat kepada orang-orang jahat, ia harus
masuk neraka.
Karena bekas pembunuh itu
baru saja meninggalkan tempat orang jahat, ia masih terletak dekat sekali dengan
mereka. Tetapi karena ia bertaubat dengan amat tulus, Tuhan memindahkan
tubuhnya dari tempat ia meninggal ke dekat perkampungan orang saleh. Dan hamba
yang bertaubat itu pun diserahkan ke dekapan malaikat penjaga surga.
Tuhan bersabda, Jika
hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekatkan diri
kepadanya satu siku. Apabila dia kembali kepada-Ku sambil berjalan, Aku akan
menyambutnya sambil berlari.
RINDU RASUL
Suatu saat, ada orang yang
ingin sekali bertemu dengan Nabi saw di mimpinya, tetapi keinginannya itu tak
pernah terkabul; meskipun ia telah berusaha amat kuat dan keras. Ia meminta
nasihat kepada seorang sufi. Sufi itu menjawab, ?Anakku, pada Jumat malam
nanti, banyak- banyaklah kau makan ikan asin, tunaikan salatmu, dan langsunglah
engkau pergi tidur tanpa minum air setetes pun. Keinginanmu akan terpenuhi.
Orang itu pun melaksanakan
anjuran sang sufi. Setelah itu, ia langsung tidur. Sepanjang malam ia bermimpi
terus menerus minum air dari puluhan mata air. Ketika pagi menjelang, ia
bergegas menemui sufi itu, ?Wahai Maulana, aku tak melihat Nabi dalam mimpiku.
Aku begitu kehausan sehingga yang aku impikan hanyalah minum air dari puluhan
mata air. Sekarang pun aku masih tersiksa dengan rasa dahaga.
Sang sufi berkata padanya,
?Makan ikan asin telah memberimu dahaga yang begitu menyiksa sehingga sepanjang
malam engkau hanya bermimpi tentang air minum. Sekarang kau harus merasakan
dahaga yang sama akan Rasul-Nya, barulah engkau boleh memeluk anugerah
terindahnya!
KASIH TUHAN TAK BERBATAS I
Suatu hari, Dzunnun
Al-Mishri hendak mencuci pakaian di tepi sungai Nil. Tiba-tiba ia melihat
seekor kalajengking yang sangat besar. Binatang itu mendekati dirinya dan
segera akan menyengatnya.
Dihinggapi rasa cemas,
Dzunnun memohon perlindungan kepada Allah swt agar terhindar dari cengkeraman
hewan itu. Ketika itu pula, kalajengking itu membelok dan berjalan cepat
menyusuri tepian sungai.
Dzunnun pun mengikuti di
belakangnya. Tidak lama setelah itu, si kalajengking terus berjalan mendatangi
pohon yang rindang dan berdaun banyak. Di bawahnya, berbaring seorang pemuda
yang sedang dalam keadaan mabuk. Si kalajengking datang mendekati pemuda itu.
Dzunnun merasa khawatir kalau-kalau kalajengking itu akan membunuh pemuda mabuk
itu.
Dzunnun semakin terkejut
ketika melihat di dekat pemuda itu terdapat seekor ular besar yang hendak
menyerang pemuda itu pula. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah di luar
dugaan Dzunnun. Tiba-tiba kalajengking itu berkelahi melawan ular dan menyengat
kepalanya. Ular itu pun tergeletak tak berkutik.
Sesudah itu, kalajengking
kembali ke sungai meninggalkan pemuda mabuk di bawah pohon. Dzunnun duduk di
sisi pemuda itu dan melantunkan syair, Wahai orang yang sedang terlelap,
ketahuilah, Yang Maha Agung selalu menjaga dari setiap kekejian yang
menimbulkan kesesatan. Mengapa si pemilik mata boleh sampai tertidur? Padahal
mata itu dapat mendatangkan berbagai kenikmatan
Pemuda mabuk itu mendengar
syair Dzunnun dan bangun dengan terperanjat kaget. Segera Dzunnun menceritakan
kepadanya segala yang telah terjadi.
Setelah mendengar
penjelasan Dzunnun, pemuda itu sadar. Betapa kasih sayang Allah sangat besar
kepada hambanya. Bahkan kepada seorang pemabuk seperti dirinya, Allah masih
memberikan perlindungan dan penjagaan-Nya.
KASIH TUHAN TAK BERBATAS II
Pada satu saat, Malik bin
Dinar pergi berhaji ke Mekkah. Di dalam perjalanan, ia melewati padang ilalang dan hutan
belantara. Pada satu tempat, ia tertegun melihat seekor gagak yang terbang
membawa sebongkah roti di paruhnya.
Malik menyaksikan burung
gagak itu dengan rasa curiga. Ia merasa bahwa ada sesuatu di balik terbangnya
burung gagak dengan sepotong roti. Karena itu, Malik mengikuti jejak burung
itu.
Sampailah ia di sebuah gua.
Ia mendekat dan masuk mulut gua. Ia memandang sekilas isi gua itu. Ia terkejut,
ternyata di dalam gua itu terdapat sesosok tubuh dengan tangan dan kaki yang
terikat. Si gagak yang ia ikuti tengah memasukkan roti itu ke mulut orang yang
terikat, sedikit demi sedikit. Setelah roti itu habis, gagak terbang kembali ke
angkasa.
Malik tertegun melihat
semua ini dan bertanya kepada laki-laki yang terikat itu, Hai siapakah engkau?
Orang itu menjawab, Semula aku akan pergi haji. Di tengah perjalanan, hartaku
dirampas para penyamun. Mereka mengikatku dan melemparkanku ke tempat ini.
Sudah lima hari
aku tidak menemukan makanan tetapi aku masih bersabar dan berdoa. Aku yakin
bahwa Dia (Allah) akan mengabulkan doa hamba-Nya yang ditimpa kemalangan.
Setelah itu, datang seekor gagak diutus Tuhan. Setiap hari burung itu
memberikan makanan dan minuman untukku.
Setelah mendengar cerita
orang itu, Malik bin Dinar melepaskan ikatannya. Orang itu segera bersujud
mensyukuri perlindungan dan penjagaan Tuhan yang tak terputus untuknya.
Mereka berdua pun
melanjutkan perjalanan menuju Baitullah.
MENGIKUTI HAWA NAFSU MENUJU SETAN
Alkisah, hiduplah seorang
alim yang sangat tekun beribadah sepanjang waktu. Ia tinggal di pondoknya yang
terpencil di tengah hutan. Kerjanya hanya mengabdi kepada Tuhan. Namanya
Barshisa. Di zaman itu, negerinya diperintah oleh seorang Raja. Pada suatu
hari, permaisuri Raja itu melahirkan seorang bayi perempuan yang amat cantik. Karena
khawatir anak perempuannya tersentuh tangan laki-laki, Raja mengirimkan anaknya
ke pondok Barshisa.
Barshisa pun memelihara
anak itu. Ketika anak itu sampai di masa remaja, kecantikannya tiba pada
puncaknya. Iblis datang menggoda sang alim itu. Akhirnya, terjadilah apa yang
diharapkan Iblis, putrid cantik itu hamil.
Ketika hamilnya mulai
tampak, Iblis datang lagi dan berkata kepada orang alim itu, Hai Barshisa, kau
adalah seorang zahid. Jika wanita yang kau hamili ini melahirkan, sudah pasti
perbuatan hinamu ini akan tersebar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu,
bunuhlah wanita ini sebelum melahirkan. Lalu katakan kepada Raja bahwa putrinya
meninggal karena suatu penyakit. Niscaya semua orang akan mempercayaimu dan
sama-sama membenarkanmu. Kemudian kamu dapat menguburkan mayatnya tanpa
sepengetahuan orang.
Terpengaruh oleh godaan
Iblis dan takut bila aibnya diketahui orang, si alim pun membunuh putri Raja.
Ia lalu pergi ke hadapan Raja dan melaporkan kematian putrinya. Raja pun
percaya dan memberi izin untuk menguburkannya. Mendapat izin Raja, Barshisa
menjadi lega dan ia segera menguburkan mayat putri itu dengan senang hati.
Sebentar kemudian, Iblis
datang lagi ke hadapan Raja. Ia memberitahukan segala perbuatan Barshisa
kepadanya. Ia berkata, Bongkarlah kuburan putrimu itu, lalu bedah perutnya.
Jika di dalamnya kau temukan seorang bayi, maka kata-kataku ini benar. Jika
tidak, kau boleh membunuhku.
Raja sangat heran mendengar
omongan Iblis itu. Ia lalu menggali kubur dan membedah perut anaknya. Alangkah
terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi di perut putrinya.
Mengetahui perbuatan sang
alim yang amat keji, Raja amat marah. Ia membawa Barshisa ke istana untuk
dihukum salib.
Di saat Barshisa terlentang
di tiang salib menanti saat-saat kematiannya, Iblis kembali datang ke
hadapannya dan berkata, Hai Barshisa, aku dapat menolongmu dan melepaskanmu
dari tiang salib ini, asalkan kau bersedia bersujud kepadaku. Karena kau berada
di tiang salib, kau cukup tundukkan kepalamu ke arahku.
Demi terbebas dari kematian,
sang alim itu pun menurut. Ia menundukkan kepalanya sebagai tanda sujud kepada
Iblis.
Setelah itu, Iblis berkata,
Aku tak boleh menolongmu. Aku takut kepada Allah seru sekalian alam. Iblis
meninggalkannya dalam tiang salib. Matilah orang yang semula alim taat
beribadah itu dalam keadaan kafir, menyembah Iblis.
PILIHAN YANG TEPAT
Raja Harun Al-Rasyid,
seorang dari keturunan Bani Abbasiyah, memiliki seorang budak perempuan yang
berparas buruk, berkulit hitam, dan tidak enak dipandang mata.
Pada suatu hari, Raja
menaburkan wang untuk semua budaknya. Para
budak saling berebut dan berlomba untuk mendapatkan wang tersebut kecuali
seorang budak perempuan hitam yang buruk rupa itu. Ia tetap diam dan hanya
memandang wajah Baginda. Raja merasa amat kehairanan dan bertanya, Mengapa kau
diam saja? Ikutlah bersama teman-temanmu memperebutkan wang.
Budak itu menjawab, Wahai
Baginda khalifah, jika semua budak berlomba untuk mendapatkan wang taburan
Baginda, maka yang hamba impikan berbeda dengan mereka. Yang hamba angankan
bukan
wang taburan itu tapi yang
hamba inginkan adalah sang pemilik wang taburan itu. Mendengar jawaban budak
itu, Raja Harun tercengang dan merasa takjub. Karena rasa kagumnya, ia jadikan
budak itu sebagai permaisurinya.
Berita perkawinan seorang
raja dengan budaknya tersebar kepada para pejabat lainnya. Mereka semua
mencemooh Raja Harun dan mencela Raja yang mempersunting seorang budak hitam.
Raja mendengar semua
cemoohan ini, ia lalu mengumpulkan semua pejabat itu dan menegur mereka.
Kemudian Raja memerintahkan
untuk mengumpulkan semua budak di negerinya. Ketika semua budak telah berkumpul
di hadapan Raja, Raja memberikan kepada masing-masing budak segelas berlian
untuk dihancurkan.
Namun, semua budak menolak
pemberian itu. Kecuali si budak hitam yang buruk rupa itu. Tanpa ragu, gelas
itu diterima dan ia pecahkan. Menyaksikan hal ini, para pejabat itu berkata,
Lihatlah budak hitam yang berperilaku sangat menjijikan ini!
Raja lalu menoleh ke arah
budak hitamnya dan bertanya, Mengapa kau hancurkan gelas itu? Budak hitam
menjawab, Aku lakukan hal ini karena perintahmu.
Menurut pendapat hamba,
jika gelas ini aku pecahkan, berarti aku telah mengurangi perbendaharaan
Khalifah. Tapi jika hamba tidak lakukan perintah Tuan, berarti aku telah
melanggar titah Khalifah. Bila gelas ini hamba hancurkan, hamba pastilah
seorang yang gila. Namun bila gelas ini tidak hamba pecahkan, berarti hamba
telah melanggar perintah Khalifah. Bagiku, pilihan yang pertama lebih mulia
daripada yang kedua. Mendengar jawaban yang singkat itu, semua pejabat yang
hadir di tempat itu tercengang dan mengakui kecerdasan budak hitam itu.
Akhirnya mereka menaruh hormat kepadanya dan memahami mengapa sang Khalifah
jatuh hati kepadanya.
KISAH DARWIS DAN SAUDAGAR
Pada suatu hari, seorang darwis
sedang berdoa dengan khusyu. Seorang saudagar kaya mengamatinya dan tersentuh
karena kekhusyuan dan ketulusan darwis itu. Kepada darwis itu, ia menawarkan
sekantung penuh wang, “Aku tahu kau akan menggunakan wang ini di jalan Tuhan.
Ambillah wang ini.”
“Sebentar,” jawab sang
darwis, “aku tak yakin apakah aku berhak untuk mengambil wangmu. Apakah kau
orang kaya? Apakah kau punya wang lebih di rumahmu?” “Oh, iya. Setidaknya aku
punya seribu keping emas di rumahku,” saudagar itu mengakui dengan bangga.
“Apa kau ingin punya seribu
keping emas lagi?” darwis itu bertanya. “Tentu saja. Setiap hari aku bekerja
keras untuk mendapatkan lebih banyak lagi wang.”
“Dan setelah itu, apa kau
ingin punya lebih banyak lagi ribuan keping emas?”
“Pasti. Setiap hari, aku berdoa
agar aku dapat menghasilkan lebih banyak wang untukku.”
Darwis itu lalu menyerahkan sekantung keping
emas kembali kepada saudagar. “Maaf, aku tak dapat mengambil emasmu,” jawab
darwis itu, “seorang yang kaya tak berhak untuk mengambil wang dari seorang
pengemis.”
“Bagaimana kau ini? Enak
saja kau sebut dirimu orang kaya dan kau panggil aku pengemis!” saudagar
itumarah-marah.
Sang darwis menjawab, “Aku
adalah orang kaya karena aku puas dengan apa saja yang Tuhan berikan kepadaku.
Sementara kau adalah pengemis, karena tidak peduli berapa banyak yang kau
miliki, kau selalu tidak puas, dan selalu meminta lebih kepada Tuhan.”
BERGANTUNG PADA-NYA
Suatu saat, seorang sufi
bernama Khafif pergi menunaikan haji dengan hanya membawa sebuah ember dan
seutas tali untuk menimba air minumnya. Di tengah perjalanan, ia melihat
beberapa ekor kijang sedang berdiri di tepian sumur, sedang meminum air dari
sumur itu. Ketika Khafif mendekati sumur, kijang-kijang itu pun berlari menjauh
dan permukaan air sumur mendadak turun.
Sekuat apa pun Khafif
berusaha, ia tak juga dapat menimba air sumur itu. ia berdoa kepada Tuhan untuk
menaikkan kembali permukaan air sumur itu seperti yang telah Tuhan lakukan
untuk para kijang.
Lalu Suara Yang Agung
menjawab, Kami tak dapat mengabulkan doamu; karena kau lebih bergantung kepada
ember dan talimu daripada kepada kami. Ketika itu juga, Khafif membwang ember
dan tali yang dibawanya dan permukaan air sumur pun langsung naik kembali.
Segera Khafif menghapus rasa dahaganya.
Sepulang dari haji, Khafif
menceritakan pengalamannya kepada Junaid Al-Baghdadi. Junaid berkata, Tuhan
telah menguji kebergantunganmu kepadaNya. Jika saja kau menunggu sedikit lagi,
air sumur itu akan meluap ke luar.
KORBANKAN DIRIMU
Suatu hari, Abu Sa'id pergi
berjalan-jalan. Beberapa orang murid, termasuk Sankani, ikut menemaninya.
Ketika mereka tengah berjalan, Abu Sa?id melihat bahwa Sankani terlalu sibuk
dengan penampilannya sendiri. Ia melarang Sankani untuk berjalan di depannya.
Si murid itu pun pindah ke samping kiri Syeikh. Setelah beberapa saat, ia
meminta lagi, Jangan berjalan di sebelah kiriku. Sankani berpindah lagi ke
sebelah kanan tapi Abu Sa?id kembali melarangnya berjalan di sisi itu.
Sankani kebingungan dan
kesal. Ia bertanya, ?Lalu di mana saya harus berjalan?? Abu Sa?id menjawabnya
dengan sebuah cerita: ?Dahulu aku senang bepergian. Lalu aku menyesal karena
perjalananku telah membuat aku kehilangan waktu untuk berguru kepada seorang
syeikh. Ketika aku kembali belajar kepada syeikh itu, ia berkata bahwa aku tak
usah menyesali sepuluh tahun kepergianku itu karena selama itu yang ia ajarkan
sebenarnya hanya satu hal -dan hal itu pun amat singkat: Kurbankan ego-mu. Itu
saja.
KAU AKAN BERSAMA DENGAN YANG KAU
CINTAI
Pada suatu hari, salah
seorang pengikut Nabi Isa as berdakwah di sebuah kota kecil. Orang-orang memintanya untuk
melakukan mukjizat; menghidupkan orang mati, sebagaimana yang telah dilakukan
Nabi Isa.
Pergilah mereka ke
pemakaman dan berhenti di sebuah kuburan. Santri Nabi Isa itu lalu berdoa
kepada Tuhan agar mayat dalam kuburan tersebut dihidupkan kembali. Mayat itu
bangkit dari kuburnya, melihat ke sekeliling, dan berteriak-teriak, ?Keledaiku!
Mana keledaiku?? Ternyata semasa hidupnya, orang itu sangat miskin dan harta
satu-satunya yang paling ia cintai adalah keledainya.
Santri Nabi Isa itu lalu
berkata kepada orang-orang yang menyertainya, Engkau pun kelak seperti itu. Apa
yang kau cintai akan menentukan apa yang akan terjadi denganmu saat engkau
dibangkitkan. Anta ma'a man ahbabta. Di hari akhir nanti, engkau akan bersama
dengan yang kaucintai.
ASAL API DI NERAKA
Bahlul, sufi pandir yang
bijaksana, suatu hari bertemu dengan khalifah Harun Al-Rasyid. “Habis dari mana
kau, Bahlul?” tanya sang penguasa. “Dari neraka,” jawab sufi itu dengan enteng.
“Apa yang kau lakukan di sana?”
Bahlul menjelaskan, “Saya memerlukan api, Tuan. Jadi saya fikir lebih baik saya
pergi ke neraka untuk meminta sedikit percikan api. Tapi Penjaga Neraka
berkata: Kami tak punya api di sini. Tentu saja saya tanya: Lho, kok begitu?
Bukankah neraka tempat yang penuh dengan api? Penjaga Neraka menjawab: Begini,
sebenarnya di sini tak ada api sedikit pun. Setiap orang yang datang ke sini
membawa apinya masing-masing.
SEDEKAH SELURUH TUBUH
Imam Ja’far Al-Shadiq as berkata, “Sedekah itu
wajib dilakukan setiap anggota tubuhmu, untuk setiap helai rambutmu, dan untuk
setiap saat dalam hidupmu.
“Sedekahnya mata berarti
memandang dengan penuh pertimbangan dan memalingkan penglihatan dari nafsu dan
hal-hal serupa itu. “Sedekahnya telinga adalah mendengarkan suara-suara yang
baik, seperti ucapan-ucapan bijak, ayat-ayat Al-Quran, dan keutamaan agama yang
terkandung dalam ceramah dan khutbah. Sedekahnya telinga juga berarti
menghindari dusta, kepalsuan, dan perkataan-perkataan sejenis.
“Sedekahnya lidah adalah
memberikan nasihat yang baik, membangunkan mereka yang lalai, memuji orang
lain, dan mengingatkan mereka.
“Sedekahnya tangan berarti
menginfakkan harta kepada orang lain, bermurah hati dengan karunia Tuhan
kepadamu, memakai jemarimu untuk menuliskan pengetahuan yang berguna bagi orang
lain dalam ketaatan kepada Tuhan, dan juga berarti menahan tanganmu dari
berbuat dosa.
“Sedekahnya kaki berarti
bergegas mengunjungi orang-orang saleh, menghadiri majlis-majlis ilmu,
mendamaikan orang, menyambungkan silaturahmi, melaksanakan jihad, dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang menentramkan hatimu dan memperkuat imanmu….”
PELAYAN CANTIK NISHAPUR
Fariduddin Attar bercerita:
Suatu saat, seorang saudagar dari Nishapur meminjamkan wang kepada orang yang
berada jauh di kota
lain. Ia ingin pergi ke tempat itu untuk menagih piutangnya. Saudagar itu
mempunyai seorang pelayan yang teramat cantik dan ia tidak boleh menemukan
orang yang boleh dipercaya untuk dititipi pelayan cantik itu. Akhirnya ia
memutuskan untuk menitipkannya kepada seorang saleh, Hazrat Utsman Hariri.
Pada suatu hari, secara tak
sengaja, Hariri melihat wajah gadis itu dan dia langsung jatuh cinta kepadanya.
Tapi ia mampu mengendalikan dirinya. Lalu ia pergi ke guru spiritualna, Hazrat
Abu Hafs Hadad untuk meminta pertolongan melunakkan hatinya yang bergejolak.
Sang guru menyarankan ia untuk pergi ke Hazrat Yusuf bin Husain dan mengikuti
nasihat yang akan ia berikan.
Ketika Hariri tiba di kota Yusuf, orang-orang
mencegah ia untuk menjumpai Yusuf karena Yusuf dianggap telah sesat. Hariri pun
pulang ke Nishapur. Ketika gurunya mengetahui hal ini, ia menyuruh Hariri untuk
kembali pergi menemui Yusuf. Kali ini, Hariri langsung menemuinya.
Hariri amat terkejut saat
menjumpai Yusuf sedang duduk bersama seorang pemuda tampan dengan sebotol
anggur dan sebuah cawan terletak di hadapannya. Namun wajah Yusuf memancarkan
cahaya kesalihan. Hariri tak dapat mengerti perilaku yang tak lazim ini dan ia
hanya boleh duduk memperhatikan Yusuf.
Ketika Yusuf mulai
berbicara, kata-katanya amat indah sehingga Hariri terpukau dibuatnya. Hariri
menanyakan perilakunya yang aneh itu. Yusuf berkata, “Pemuda tampan ini
anakku.dan ia sedang belajar Al-Quran bersamaku sementara botol ini hanya
berisi air. Dan mengapa aku bertingkah laku seperti ini, ini semua untuk
menghindarkan para saudagar menitipkan pelayan cantiknya kepadaku ketika ia
pergi….”
MENCURI UANG ANAK SENDIRI
Seorang lelaki datang
kepada Nabi saw, mengadukan ayahnya yang menghabiskan wang miliknya tanpa
meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Nabi yang mulia memanggil ayah orang
itu ke hadapannya. Ketika lelaki jompo itu datang dengan tertatih-tatih
bersandar pada tongkatnya, Nabi bertanya, “Betulkah kau mengambil wang anakmu
tanpa seizinnya?”
“Wahai Nabi Allah,” lelaki
itu menangis, “ketika aku kuat dan anakku lemah, ketika aku kaya dan dia
miskin, aku tidak membelanjakan wangku kecuali untuk memberi makan kepadanya,
bahkan terkadang aku membiarkan diriku kelaparan asalkan dia boleh makan.
Sekarang aku telah tua dan lemah sementara anakku tumbuh kuat. Aku telah jatuh
miskin sementara anakku menjadi kaya. Ia mulai menyembunyikan wangnya dariku.
Dahulu aku menyediakan makan untuknya tapi sekarang ia hanya menyiapkan makan
untuk dirinya. Aku tak pernah memperlakukan ia seperti ia mempelakukanku. Jika
saja aku masih sekuat dulu, aku akan merelakan wangku untuknya.”
Ketika mendengar hal ini,
airmata Nabi saw jatuh berlinang seperti untaian mutiara menimpa janggutnya
yang suci, “Baiklah,” Nabi berkata, “habiskan seluruh wang anakmu sekehendak
hatimu. Wang itu milikmu…”
PENDERITAAN ADALAH AWAL DARI
PENCERAHAN I
Suatu hari, seorang lelaki
tengah memecah tanah dengan cangkul. Seorang lelaki lain yang bodoh datang
kepadanya dan berteriak, "Hei, mengapa kau merusak tanah itu?"
"Tolol!" jawab si
pencangkul, "Pergilah kau dan jangan ganggu aku! Mengertilah perbedaan
antara penghancuran dan pertumbuhan. Bagaimana mungkin tanah ini berubah
menjadi kebun mawar atau ladang gandum, bila sebelumnya tak kau pecah-pecah dan
kau rusak? Bagaimana mungkin tanah ini menjadi petamanan yang penuh dengan
dedaunan dan buah-buahan, bila sebelumnya tak kau hancurkan dan kau remukkan?
"Sebelum kau pecahkan
bisulmu dengan pisau, bagaimana mungkin penyakitmu itu dapat sembuh? Sebelum tabib
memulihkan kesehatanmu dengan obatnya yang pahit, bagaimana mungkin penyakitmu
dapat hilang?
"Ketika seorang
penjahit menggunting sepotong kain, sedikit demi sedikit, apakah ada orang yang
mendatanginya dan berteriak: Mengapa kau rusak satin indah ini? Apa gunanya
serpihan-serpihan kain satin? Ketika para tukang datang untuk memperbaiki
bangunan tua, bukankah mereka memulai pekerjaan mereka dengan menghancurkan
bangunan itu terlebih dahulu?
"Lihatlah para tukang
kayu, pandai besi, atau tukang daging. Kau akan temukan bahwa penghancuran
adalah awal dari pembaharuan. Penderitaan adalah awal dari pencerahan. Bila kau
tak membiarkan biji-biji gandum itu untuk digiling, dari mana dapat kau peroleh
roti untuk makananmu?"
PENDERITAAN ADALAH AWAL DARI
PENCERAHAN II
Seorang koki memasukkan
buncis ke dalam kuali yang penuh minyak untuk dimasak. Buncis itu
melompat-lompat kepanasan, ia meronta, meloncat ke tepi kuali dan berteriak,
"Mengapa kau bakar aku? Tak cukupkah kau telah beli aku? Mengapa kau juga
harus menyiksaku?"
Koki itu membenamkannya
kembali ke dalam kuali dengan sendoknya dan berkata, "Tenanglah,
mendidihlah engkau dengan baik! Jangan lompat terlalu jauh dari ia yang
menyalakanmu. Aku tak merebusmu karena aku membencimu. Aku memasakmu agar kau menjadi
lezat dan penuh cita rasa.
Agar kau dapat menjadi
makanan dan bersatu dengan kehidupan. Penderitaanmu tak disebabkan karena aku
menghinakanmu! Ketika kau segar dan hijau, kau selalu meminum air di kebun. Kau
meminum air itu untuk bersiap menghadapi api ini."
Kasih sayang Tuhan lebih
besar dari penderitaan yang Dia berikan. Kasih sayang-Nya senantiasa lebih
besar dari murka-Nya. Kau dididihkan dalam penderitaan dan kesengsaraan, tiada
lain agar ego dan eksistensi dirimu lenyap tak berbekas! Kau berubah menjadi
makanan, kekuatan, dan fikiran yang luhur. Dahulu kau lemah, kini kau seperkasa
singa hutan
JANGAN PERNAH BERPALING DARIKU
Pada suatu saat, Tuhan
berbisik kepada Musa, dalam keheningan hatinya, "Wahai hamba pilihan-Ku,
Aku mencintaimu!"
Musa menjawab dengan
pertanyaan, "Wahai Sang Mahapemurah, katakan padaku, sifat apa dari diriku
yang membuat-Mu mencintaiku, supaya aku dapat senantiasa mempertahankan dan
menghiasnya."
"Kumencintaimu karena
engkau seperti anak kecil," jawab Tuhan, "Anak kecil yang berada
dalam naungan ibunya. Meskipun sang ibu mengusirnya, ia tetap bergantung
padanya. Untuknya, tak ada orang lain di dunia ini selain sang ibu. Semua sedih
dan bahagia hanya bersumber dari ibunya.
"Meskipun sang ibu
memukulnya, ia tetap memburu dan memeluk ibunya. Ia tak pernah meminta
pertolongan selain kepada sang ibu. Ibunyalah sumber segala sesuatu, baik
maupun buruk.
"Begitu pula hatimu.
Dalam suka atau pun duka, ia tak pernah berpaling dari-Ku. Dalam pandanganmu,
makhluk lain hanyalah bebatuan dan bongkahan tanah...."
KAU TAK TAHU APA YANG KAUMINTA
Suatu hari, Isa as sedang
berjalan di tengah gurun. Beberapa orang pencinta dunia mengikutinya. Mereka
meminta Isa, "Katakanlah pada kami mantra apa yang kau pakai untuk
menghidupkan orang mati."
Isa menjawab, "Jika
kukatakan, kalian akan menyalahgunakan bacaan itu." Mereka bersumpah bahwa
bacaan itu akan mereka gunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Mereka
tetap meminta Isa untuk memberitahukan bacaan itu.
"Kau tak tahu apa yang
kauminta," ujar Isa. Tetapi mereka tak mendengarkannya.
Akhirnya Isa memberitahukan
bacaan rahasia itu. Tak lama sesudah itu, kelompok orang tersebut menemukan
tumpukan tulang belulang di tengah padang
pasir. "Mari kita coba, mantra ini berhasil atau tidak," ucap mereka.
Bacaan itu pun digumamkan. Keajaiban segera terjadi. Tumpukan tulang itu
diliputi kembali oleh darah dan daging, berubah menjadi binatang buas, dan
mengoyak-koyakan tubuh orang-orang yang menghidupkannya.
SULTAN DAN SUFI
Alkisah, seorang Sultan
sedang berparade di jalan- jalan utama kota Istanbul, dengan
dikelilingi para pengawal dan tentaranya. Seluruh penduduk kota datang untuk melihat sang Sultan. Semua
orang memberikan hormat ketika Sultan lewat, kecuali seorang darwis yang amat
sederhana.
Sang Sultan segera
menghentikan paradenya dan menyuruh tentaranya untuk membawa darwis itu
menghadap. Ia menuntut penjelasan mengapa darwis itu tak memberikan
penghormatan kepadanya ketika ia lewat.
Darwis itu menjawab,
"Biarlah semua orang ini menghormat kepadamu. Mereka semua menginginkan
apa yang ada padamu; harta, kedudukan, dan kekuasaan. Alhamdulillah, segala hal
ini tak berarti bagiku. Lagipula, untuk apa saya menghormat kepadamu apabila
saya punya dua budak yang merupakan tuan-tuanmu?"
Semua orang di
sekelilingnya ternganga. Wajah sang Sultan memerah karena marah. "Apa
maksudmu?" bentaknya.
"Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah
amarah dan ketamakan," ujar darwis itu tenang seraya menatap kembali kedua
mata Sultan. Sultan itu pun tersadar akan kebenaran ucapan orang itu dan ia
balik menghormat sang darwis.
KISAH PEMUDA QAZWIN
Sebuah suku di daerah
Qazwin memiliki kebiasaan untuk menghias tubuh mereka dengan tato. Mereka
menggambari kulit mereka dengan lukisan-lukisan yang gagah, seperti lukisan
seorang pejwang yang memerangi kejahatan.
Seorang pemuda dari Qazwin
pergi menemui tukang tato yang pekerjaannya ialah menggambar tato dengan jarum
yang cukup tajam. Ia meminta tukang itu untuk mentato tubuhnya dengan gambar
singa yang amat buas. "Bintangku adalah Leo, jadi singa adalah gambar yang
amat pantas bagiku. Hiasilah punggungku yang kokoh ini dengan gambar
singa." Tukang itu menyanggupinya.
Pada saat tukang tato itu
menancapkan ujung jarum untuk mulai menggambar, pemuda itu merasa amat
kesakitan. Punggungnya diderita nyeri yang luar biasa. Ia menjerit, "Oh,
jarum itu menyakitiku! Apa yang kau lakukan?" Tukang itu menjawab bahwa ia
sedang menggambar singa seperti yang diperintahkan.
"Bagian apa dari tubuh
singa yang sedang kau kerjakan?" tanya pemuda itu seraya menahan sakit.
"Aku baru saja akan
menggambar ekor singa ini," jawab tukang tato. Pemuda itu meminta agar
singa itu tak usah memiliki ekor karena gambar ekor itu ternyata amat menyakiti
punggungnya. Kalau ujung ekornya saja sudah sedemikian menyakitkan, apalagi
jika keseluruhan ekor yang panjang itu digambar, "Biarkan singaku tak
memiliki ekor. Hatiku tak tahan akan ujung jarum tatomu."
Tukang itu pun mulai
menggambar bagian lain dari singa di atas punggung pemuda itu. Kembali pemuda
itu berteriak keras, "Apa yang kau tato sekarang?" Tukang itu
menjawab bahwa ia sekarang tengah melukis bagian telinga.
"Biarkan singaku tak
memiliki telinga. Demi Tuhan, tinggalkan saja bagian telinganya," pinta
pemuda itu. Tukang tato itu pun dengan patuh pindah mengerjakan bagian lain.
Kembali, pemuda itu berteriak kesakitan, "Oh, tukang tato yang terhormat,
kali ini apa yang sedang kau kerjakan?" Tukang itu pun menjelaskan bahwa
ia tengah melukis bagian perut.
"Tinggalkan bagian
perutnya. Aku tak memerlukan bagian perut dari singa itu untuk tatoku!"
pemuda itu menjerit.
Akhirnya, tukang tato itu
benar-benar kehilangan kesabaran. Ia berdiri kehairanan. Dengan kesal, ia
membanting jarumnya dan memaki, "Kau ini gila! Tak ada di dunia ini seekor
singa pun yang tak memiliki ekor, telinga, atau perut! Tuhan pun tak akan
menciptakan singa semacam itu!"
Rumi menutup cerita ini
dengan berkata, "Saudaraku, tahanlah rasa sakit dari ‘jarum’ itu. Pada
akhirnya ia akan memberikanmu kenikmatan yang luar biasa. Matahari, Bulan, dan
Angkasa akan menghormati ketahanan dirimu." Bersabarlah menanggung derita
dan segala kepedihanmu karena kebahagiaan di akhir hanya akan diperoleh melalui
penderitaan sebelumnya.
DARWIS YANG MENGETUK PINTU
Seorang darwis mengetuk
pintu sebuah rumah, meminta sepotong roti untuk ia makan. Roti kering atau roti
basah, tak menjadi soal.
"Ini bukan Toko
Roti." jawab pemilik rumah dengan ketus.
"Kalau begitu, apakah
kau memiliki sedikit daging?" darwis itu masih memohon.
"Memangnya rumah ini
kelihatan seperti Tempat Jagal?"
"Dapatkah kuminta
sedikit tepung?"
"Memangnya kau dengar
suara penggilingan dari rumah ini?"
"Kalau begitu, seteguk
air saja...."
"Di sini tidak ada
sumur!"
Apa pun yang diminta oleh
darwis itu, selalu dijawab oleh pemilik rumah dengan ucapan yang melecehkan. Ia
tak mau memberi apa pun untuk darwis itu.
Akhirnya darwis itu berlari
masuk ke dalam rumah, mengangkat jubahnya, dan berjongkok seolah-olah hendak
membwang hajat.
"Hey, hey! Apa yang
kau lakukan?" teriak sang pemilik rumah kehairanan.
"Diam kau, orang yang
menyedihkan! Tempat kosong seperti ini hanya pantas untuk menjadi tempat bwang
hajat. Karena tak ada seorang pun atau apa pun yang ada di sini, tempat ini
harus diberi pupuk agar menjadi subur."
Darwis itu lalu berkata,
"Jika kau burung, jenis apa kau? Kau bukanlah helang yang dilatih untuk
menjadi peliharaan bangsawan. Bukan pula Merak yang memesona setiap yang
memandangnya. Bukan pula Kakaktua yang berkisah lucu. Dan bukan pula Kutilang yang
bernyanyi kasmaran.
"Kau bukan Hudhud yang
membawa pesan untuk Sulaiman, atau Bangau yang membangun sarang di tepi tebing.
"Apakah kau ini? Kau
spesies tak dikenal. Kau berdalih dan bercanda untuk mempertahankan harta
milikmu. Kau telah melupakan Dia Yang tak peduli akan harta benda, Yang tak
mengambil keuntungan dari setiap hubungan-Nya dengan manusia...."
TANDA HUKUMAN TUHAN
Di zaman Nabi Syuaib,
seorang pria datang ke hadapan Nabi, "Tuhan telah menyaksikan semua dosa
yang aku lakukan. Namun karena kemurahanNya, Ia masih juga belum
menghukumku." Tuhan lalu berkata kepada Syuaib, "Katakan pada orang
itu: Engkau merasa Tuhan belum menghukummu padahal sebaliknya.
"Tuhan telah menghukum
tetapi kau tak menyadarinya. Kau berkelana di tengah rimba tanpa tujuan. Tangan
dan kakimu terikat. Kau tak lain hanyalah waja yang penuh dengan karat.
"Semakin hari kau
dibutakan oleh hal-hal spiritual. Bila api mengenai waja yang masih bersih,
jelaganya terlihat seketika. Tapi dengan waja yang permukaannya amat hitam
seperti milikmu, siapa yang mampu melihat betapa tebalnya jelaga itu?
"Ketika kau berhenti
mengingat-Nya, lapisan karat itu bergerak menuju jiwamu.
"Bila kau menulis di
atas sehelai kertas, tulisan itu akan mudah terbaca. Namun bila kertas itu kau
remas berulang kali, apa yang kau tulis akan sulit untuk kau baca.
"Tenggelamkan dirimu
dalam larutan pembersih karat. Hapus jelaga itu seluruhnya."
Setelah Syuaib mengutarakan
semua ini, saat itu pula mawar bermekaran di hati pria itu. Tapi ia masih
bertanya, "Aku masih ingin tahu satu tanda bahwa Dia benar-benar telah
menghukumku."
Sekali lagi Tuhan, melalui
lidah Syuaib, berkata, "Aku takkan menyingkapkan rahasiamu, tapi Aku akan
tunjukkan sehingga kau mengerti.
"Dalam hidupmu, kau
telah banyak beramal salih. Kau sering berpuasa dan salat malam. Tapi kau belum
menikmati semua itu. Kau memiliki banyak buah, namun tak ada yang rasanya
manis. Tanpa cita rasa dan benih kenikmatan, sebiji epal takkan tumbuh menjadi
pohon yang penuh dengan buah.
Begitu pula dengan
ibadahmu, ibadah tanpa kenikmatan tak lebih dari sekadar khayalan...."
TERTIPU BERULANG KALI
Di suatu hari, seorang
lelaki sedang dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya. Ia berjalan dengan
menuntun seekor domba di belakangnya. Seorang pencuri melihat hal ini. Ia
mengendap-endap dan memutuskan tali kekangnya dan mengambil domba itu. Setelah
beberapa saat, sang empunya domba menyadari bahwa miliknya telah hilang. Ia
berlari ke sana
kemari mencari dombanya dengan panik.
Sampailah ia pada sebuah
sumur. Di tepi sumur itu ia melihat pencuri yang tadi mengambil dombanya tapi
ia tak tahu bahwa orang itulah yang telah mencuri domba miliknya. Ia bertanya
kepada orang itu apakah ia melihat seekor domba di sekitar tempat itu.
Pencuri itu tidak menjawab,
ia malah menangis, bersimpuh di tepian sumur. "Mengapa kau menangis?"
tanya pemilik domba kehairanan.
"Dompetku jatuh ke
dalam sumur ketika aku menimba air. Jika kau dapat membantuku mengambilnya, aku
akan berikan kau seperlima dari wang yang ada dalam dompet itu. Kau akan
mendapatkan seperlima dari seratus dinar emas di tanganmu!"
Pemilik domba berfikir,
"Wah, wang itu cukup untuk membeli lebih dari sepuluh domba! Bila satu pintu
tertutup, sepuluh pintu lain akan terbuka."
Ia segera membuka pakaiannya
dan turun ke dasar sumur. Tentu saja, di dalam sumur itu tak terdapat apa-apa.
Dan si pencuri pun melarikan pakaian orang itu.
Apabila satu kerugian saja
membuatmu amat gelisah, maka kerugian-kerugian lain akan datang kepadamu dengan
mudah. Setan menampakkan dirinya kepadamu dalam beragam penyamaran.
Selamatkan dirimu kepada
Tuhan dan Ia takkan menipumu.
KERINDUANMU PADAKU ADALAH UTUSANKU
BAGIMU
Pada suatu saat, seorang
sufi tengah tenggelam dalam doa-doanya. Setan datang menghampirinya dan berkata,
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini, memanggil-manggil Tuhan. Diamlah
kau, Tuhan takkan pernah menjawabmu!"
Sufi itu menjadi teramat
sedih dan termenung diam. Ia tak meneruskan doanya.
Di malam harinya, Nabi
Khidhir hadir dalam mimpinya dan bertanya, "Mengapa engkau berhenti
menyeru Tuhanmu?"
"Karena jawaban
dari-Nya tak juga kuterima," berkata sufi itu.
Khidhir menjawab,
"Tuhan sendiri yang menyuruhku untuk datang padamu. Dia berkata: Bukankah
Aku yang memerintahkanmu untuk berdoa? Bukankah Aku yang menyibukkanmu dengan
nama-Ku?
Rintihanmu memanggil
nama-Ku; Allah, Allah! adalah jawaban-Ku untukmu. "Kerinduanmu pada-Ku
adalah utusan-Ku bagimu. Akulah sumber dari semua air mata dan rintihanmu.
Akulah yang memberi sayap
bagi iringan munajatmu."
MEMBAKAR DIRI DEMI DIA
Salah satu tokoh sufi
terbesar, Fariduddin Attar, bercerita; Pada suatu malam, sekelompok laron
berkumpul bersama. Mereka bercerita tentang kerinduan yang menyiksa; keinginan
untuk bergabung dengan cahaya sebuah lilin. Semua berkata, “Kita harus temukan
seekor laron yang dapat menceritakan lilin yang amat kita dambakan itu.”
Salah seekor laron lalu
pergi ke sebuah puri dan melihat seberkas cahaya lilin di dalamnya. Ia kembali
dan bercerita tentang apa yang ia telah lihat. Tapi seekor laron yang bijak,
pemimpin kelompok itu, hanya berkata, “Ia tak punya berita yang sesungguhnya
tentang lilin itu.” Seekor laron yang lain pergi menuju puri itu dan terbang
mendekati cahaya lilin, bergerak ke arahnya, dan menyentuh sedikit nyala api
dengan sayapnya. Setelah itu, ia kembali ke kelompoknya dan menjelaskan tentang
penyatuan dirinya dengan lilin itu. Tapi si laron bijak lalu berkata lagi,
“Penjelasanmu tak lebih berarti dari penjelasan laron sebelum kamu.”
Laron ketiga bangkit, dan
melemparkan dirinya ke arah nyala lilin. Ia mendorong dirinya ke depan lilin dan
mengarahkan sungutnya kepada api. Begitu seluruh tubuhnya dilalap api, tubuhnya
menjadi merah menyala seperti api itu sendiri. Si laron bijak memandang dari
kejauhan dan melihat bahwa lilin itu telah menerima seekor laron tadi sebagai
bagian dari dirinya dan memberikan kepada laron itu cahayanya. Si laron bijak
berkata, “Seekor laron itu telah mengetahui apa yang ia capai. Sesuatu yang
takkan diketahui laron-laron lainnya.”
Attar menutup kisah ini
dengan berkata: Sebenarnya, hanya orang yang telah meninggalkan pengetahuan
akan keberadaan dirinya, yang dapat memiliki pengetahuan akan eksistensi Sang
Tercinta. Selama kau masih memperdulikan jiwa dan ragamu, bagaimana kau mampu mengenal
Dia yang kau cinta?
JIBRIL MENYEMBAH TUHAN
Syahdan, Tuhan bertanya
kepada Jibril, “Wahai Jibril, seandainya Aku menciptakan engkau sebagai seorang
manusia, bagaimana caranya engkau akan beribadah kepada-Ku?”
“Tuhanku,” jawab Jibril,
“Engkau mengetahui segalanya –segala sesuatu yang pernah terjadi, akan terjadi,
atau mungkin terjadi. Tak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang
tersembunyi dari-Mu.
Engkau pun tahu bagaimana
aku akan menyembah-Mu.”
Allah bersabda, “Benar. Aku
tentu mengetahui hal itu. Tetapi hamba-hamba-Ku tidak mengetahuinya. Jadi,
katakanlah sehingga hamba-hamba-Ku dapat mendengar dan mengambil pelajaran
darinya.”
Lalu Jibril pun berkata,
“Tuhanku, seandainya aku diciptakan sebagai manusia, aku akan menyembah-Mu
dalam tiga cara. Pertama, aku akan beri minum mereka yang kehausan. Kedua, aku
akan menutupi kesalahan-kesalahan orang lain ketimbang membicarakannya. Ketiga,
aku akan menolong mereka yang miskin.” Allah kemudian berfirman, “Karena Aku
tahu bahwa engkau akan melakukan hal-hal tersebut, maka Aku telah memilihmu
sebagai pembawa wahyu dan menyampaikannya kepada para nabi-Ku. “
Tutupilah aib orang lain,
sehingga aibmu pun disembunyikan. Maafkanlah dosa orang lain, agar dosamu juga
diampuni. Jangan singkapkan kesalahan orang lain, agar hal yang sama tidak
terjadi padamu.
NABI ISA DAN DUNIA
Suatu saat, Nabi Isa as
berjumpa dengan seorang wanita tua yang berwajah amat buruk. “Akulah dunia,”
kata nenek tua buruk rupa itu. Isa as bertanya kepadanya, berapa orang suami
yang pernah ia punyai. “Tak terhitung jumlahnya,” ia menjawab.
“Apakah suami-suamimu
meninggal atau menceraikanmu?” Isa as bertanya lagi. “Tidak,” jawab nenek itu,
“aku membunuh mereka semua.”
Lalu Isa as berkata, “Aku
tak boleh mengerti. Mengapa masih saja ada orang yang tahu apa yang telah kau
perbuat kepada manusia, tetapi mereka masih tetap menginginkanmu....”
MENUAI TANAMAN DUNIA
Seorang yang dikenal amat
kikir, suatu hari sedang duduk di pintu kedainya sambil menikmati secangkir
kopi. Seorang gila menghampirinya dan meminta sedikit wang untuk membeli
yoghurt. Pedagang kikir itu berusaha mengacuhkannya tetapi si gila tetap tak
mau pergi dan malah membuat keramaian.
Orang-orang yang lewat dan
melihat hal itu lalu menawarinya wang. Tapi si gila bersikeras bahwa ia hanya
menginginkan wang dari si kikir. Akhirnya, si kikir memberinya sedikit wang
receh untuk membeli yoghurt. Si gila kemudian meminta tambahan wang untuk
membeli roti yang akan dimakannya bersama yoghurt itu. Pedagang kikir itu tentu
saja sudah tak boleh membiarkan hal ini, dan ia tegas-tegas menolaknya.
Malamnya, orang kikir itu
bermimpi. Dalam mimpinya, ia telah berjalan di dalam surga. Tempatnya sangatlah
indah, penuh dengan sungai, pepohonan, dan bunga-bungaan. Setelah beberapa saat
berjalan di sana,
ia merasa lapar. Ia kehairanan, di tengah semua keindahan surga, ia tak melihat
sedikit pun makanan.
Ketika itu, muncullah
seorang pemuda bewajah tampan bercahaya. Si kikir bertanya kepadanya, “Apakah
ini benar-benar surga?” Pemuda itu mengiyakan. “Lalu, di mana gerangan segala
makanan dan hidangan surga yang telah sering aku dengar itu?” tanya orang kikir
itu lagi.
Pemuda tampan itu permisi
sebentar. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa semangkuk yoghurt.
Pedagang kikir lalu meminta roti untuk dimakan bersama yoghurt tapi pemuda itu
menjawab, “Yang engkau kirimkan kemari hanyalah yoghurt ini saja. Seandainya
engkau mengirimkan roti, tentu sekarang aku dapat menyuguhkanmu roti juga. Yang
engkau tuai di sini adalah apa yang engkau tanam sewaktu di dunia.”
Si kikir terbangun dari
mimpinya. Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Sejak saat itu ia menjadi salah
seorang yang paling pemurah di kotanya. Diberikannya makanan kepada setiap
pengemis dan orang miskin yang dijumpainya.
KETIKA IBRAHIM MENANGIS
Suatu hari, seorang tokoh
sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian
umum. Penjaganya meminta wang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng
dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu
berkata, “Jika engkau tidak punya wang, engkau tak boleh masuk.” Ibrahim
seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar
ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang
lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya wang
agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku
menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga
meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu
yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini
kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar
diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut:
Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau
kerjakan yang cukup berharga untuk boleh
dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu
membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak
mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di
sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama
Ibrahim.
KUCING DAN DAGING KAMBING
Rumi bercerita; Alkisah,
hiduplah seorang istri yang amat licik. Ia selalu menghabiskan setiap makanan
yang dibawa oleh suaminya pulang, dan berbohong tentang hal itu.
Suatu saat, suaminya pulang
dengan membawa daging kambing untuk dihidangkan kepada tamunya yang akan tiba.
Suami itu telah bekerja selama dua ratus hari untuk boleh membeli daging mahal
tersebut.
Ketika suaminya tidak di
tempat, istri yang rakus itu segera memotong daging dan memasaknya menjadi
kebab (sebuah hidangan khas Timur Tengah, -red.) Dan ia makan semua masakan
itu, diselingi dengan minum anggur.
Suaminya datang ke rumah
bersama tamu yang dijemputnya. “Daging itu dimakan kucing,” istrinya berbohong,
“kalau kau masih punya wang, belilah lagi.”
Sang suami lalu meminta
pelayan untuk membawakan timbangan dan kucing yang dituduh itu. Berat kucing
itu adalah tiga kilogram. “Daging kambing itu beratnya tiga kilogram dan satu
ons,” ujar suami itu sambil menggendong kucing, “kalau benda ini adalah kucing,
lalu di mana daging kambingnya? Kalau benda ini adalah daging kambing, lalu di
mana kucingnya? Carilah mana kucing itu, atau mana daging kambing itu!”
Rumi menutup cerita itu
dengan menulis: Jika kau memiliki raga, lalu di mana ruhnya? Jka kau memiliki
ruh, lalu di mana raganya?
HADIAH SALAT MALAM
Seorang pencuri masuk ke
rumah Ahmad bin Khazruya, seorang sufi besar. Ia sibuk mencari barang berharga
untuk dicuri, tetapi ia tak menemukan apa-apa. Ketika pencuri itu hendak pergi
dengan kecewa, Ahmad, sang sufi, memanggilnya.
"Anak muda, ambillah
ember ini dan timba air dari sumur. Berwudhulah kau dengan air itu dan dirikanlah
salat. Kalau ada sesuatu, nanti aku berikan padamu, supaya kau tak pulang
dengan tangan hampa," ujar Ahmad.
Orang itu mengikuti
perintah Ahmad. Ketika pagi tiba, seorang pria dari kota datang membawa kantong berisi seratus
dinar dan memberikannya pada Ahmad. Ahmad lalu memberikannya pada si pencuri.
"Bawalah ini sebagai hadiah untuk salat
malammu," ia berkata.
Tubuh pencuri itu bergetar.
Ia langsung menangis terisak-isak.
"Aku telah salah
mengambil jalan," ucapnya di sela tangisan, "tapi semalam saja aku
bekerja untuk Tuhan, Dia telah memberiku ganjaran seperti ini...."
Pencuri itu bertaubat,
kembali kepada Tuhan. Ia menolak mengambil wang emas itu, dan menjadi salah
seorang murid setia Ahmad bin Khazruya.
DUDUK BERTUMPANG KAKI
Seorang sufi ternama,
Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan menumpangkan kakinya.
Seorang muridnya kehairanan dan bertanya, “Wahai Guru, mengapa kau tak pernah
duduk dengan bertumpang kaki?”
“Aku pernah melakukan itu
satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara dari langit:
Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku
segera duduk tegak dan memohon ampun.”
SATU HATI DUA CINTA
Suatu hari, Fudhail bin
Iyadh, duduk memangku anaknya yang berusia empat tahun. Sesekali ia mencium
pipi anak itu sebagai ungkapan rasa sayang.
“Ayah, apakah kau mencintai
aku?” tanya anak itu.
“Ya,” jawab Fudhail.
“Apakah kau mencintai
Tuhan?”
“Ya.”
“Berapa hati yang kau
miliki, Ayah?”
“Satu.”
“Dapatkah kau mencintai dua
hal dengan satu hati?” anak itu bertanya lagi.
Saat itu pula Fudhail
terhenyak. Ia sadar yang berbicara bukanlah anak kecilnya melainkan Yang
Mahakuasa. Merasa malu, ia mulai memukuli kepalanya dan bertaubat. Sejak saat
itu, ia hanya persembahkan hatinya untuk Tuhan.
KEHEBATAN LELAKI SEJATI
“Tuanku, engkau boleh
berjalan di atas air!” murid-muridnya berkata dengan penuh kekaguman kepada
Bayazid Al-Busthami.
“Itu bukan apa-apa.
Sepotong kayu juga boleh,” Bayazid menjawab.
“Tapi engkau juga terbang
di angkasa.”
“Demikian juga
burung-burung itu,” tunjuk Bayazid ke langit.
“Engkau juga mampu
bepergian ke Ka’bah dalam semalam.”
“Setiap pengelana yang kuat
pun akan mampu pergi dari India
ke Demavand dalam waktu satu malam,” jawab Bayazid.
“Kalau begitu, apa
kehebatan seorang lelaki sejati?” murid-muridnya ingin tahu.
“Lelaki sejati,” jawab
Bayazid, “adalah mereka yang mampu melekatkan hatinya tidak kepada sesuatu pun
selain Tuhan.”
MENGUNDANG TUHAN MAKAN MALAM
Pada suatu hari, beberapa
orang dari Bani Israil datang menemui Musa as dan berkata, Wahai Musa, bukankah
kau boleh bicara dengan Tuhan? Tolong sampaikan pada-Nya, kami ingin
mengundang-Nya makan malam.
Musa marah luar biasa. Ia
berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.
Ketika Musa datang ke
Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda,
Mengapa kau tidak
menyampaikan kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku? Musa menjawab, Tapi
Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol
seperti itu. Tuhan berkata, Simpan pengetahuanmu antara kau dan Aku. Katakan
pada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan itu.
Turunlah Musa dari Gunung
Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani
Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat
mewah.
Ketika mereka sedang sibuk
memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek
tua muncul tanpa diduga.
Orang itu miskin dan
kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para
koki yang sibuk memasak menolaknya, Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan.
Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama. Mengapa kamu tidak ikut
membantu. Lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!
Mereka tidak memberi
apa-apa untuk kakek malang
itu. Waktu berlalu tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi amat malu
dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya.
Keesokan harinya, Musa
pergi ke Gunung Sinai dan berkata, Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku?
Aku berusaha meyakinkan
setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan Kau akan datang ke jamuan kami, tapi
Kau ternyata tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!
Tuhan menjawab, Aku datang.
Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi
makan kepada-Ku. Tuhan bersabda, Aku, Yang tidak akan boleh dimasukkan ke
seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.
Ketika kita berkhidmat
kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi
kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik.
SIBUK MENGURUS HATI
Suatu ketika, seorang Arab
datang ingin berguru kepada Abu Said Abul Khair, seorang tokoh sufi yang
terkenal karena karamahnya dan gemar mengajar tasawuf di pengajian-pengajian.
Rumah guru sufi itu terletak di tengah-tengah padang pasir. Ketika orang itu tiba, Abul
Khair sedang memimpin majlis simaan (acara mendengarkan orang membaca doa,
-red.) di tengah para pengikutnya. Waktu itu Abul Khair membaca Al-Fatihah. Ia
tiba pada ayat: ghairil maghdubi alaihim, wa laz zalim. Orang Arab itu
berfikir, '?Bagaimana mungkin aku boleh berguru kepadanya. Baca Al-Quran saja,
ia tidak boleh. Orang itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair.
Begitu orang itu keluar, ia
dihadang oleh seekor singa padang
pasir yang buas. Ia mundur tetapi di belakangnya ada seekor singa lain yang
menghalanginya. Lelaki Arab itu menjerit keras karena ketakutan. Mendengar
teriakannya, Abul Khair turun keluar meninggalkan majlisnya. Ia menatap kedua
ekor singa itu dan menegur mereka, Bukankah sudah kubilang jangan ganggu para
tamuku!? Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair.
Sang sufi lalu mengelus
telinga keduanya dan menyuruhnya pergi. Lelaki Arab itu kehairanan, Bagaimana
Anda dapat menaklukkan singa-singa yang begitu liar? Abul Khair menjawab, Aku
sibuk memperhatikan urusan hatiku. Untuk kesibukanku memperhatikan hati ini,
Tuhan menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Sedangkan kamu sibuk
memperhatikan hal-hal lahiriah, karena itu kamu takut kepada seluruh alam
semesta.
KISAH KEAJAIBAN ROH
Seorang pemuda yang telah
meninggal dunia telah datang menemui Tsabit Al Banani di dalam tidurnya. Rohnya
datang dalam keadaan berserabut, wajahnya pucat lesi, cemas dan gundah gulana.
Tsabit dapat melihat di dalam tidurnya itu, pemuda tersebut berjalan dengan
tangan kosong sambil air matanya mengalir. Dalam masa yang sama dia melihat
semua ahli kubur yang lain memakai pakaian putih bersih serta membawa makanan
beraneka macam.
Tsabit pun bertanya mengapakah keadaannya
demikian. Pemuda itu berkata bahawa tidak ada seorang pun di dunia yang mahu
mendoakan serta bersedekah untuknya. Sedangkan ahli-ahli kubur yang lain
mempunyai keluarga dan sanak saudara yang sering berdoa dan bersedekah untuk
mereka pada setiap malam Jumaat.
Ibunya masih hidup, tetapi
setelah berkahwin lagi, ibunya lupa untuk berdoa dan bersedekah untuknya.
"Kini aku telah
berputus asa dan sentiasa sedih lagi cemas sepanjang masa," kata pemuda
itu. Tsabit pun bertanya tentang ibunya dan di mana dia tinggal serta berjanji
akan menceritakan keadaan pemuda itu kepadanya. " Katakan bahawa di dalam
bajunya ada wang seratus misgal warisan ayahku. Wang itu adalah kepunyaanku.
Nanti dia akan percaya terhadap apa yang tuan ceritakan."
Setelah terjaga, Al Banani
terus mencari ibu pemuda itu dan menceritakan kisahnya. Ibu itu jatuh pengsan
apabila mendengar kesusahan yang menimpa anaknya. Bila sedar, dia memberikan
wang sebanyak 100 misgal tersebut kepada Al Banani untuk disedekahkan dengan
diniatkan pahalanya untuk roh anaknya.
Sekali lagi roh pemuda itu
datang berjumpa Al Banani di dalam mimpinya. Wajahnya berseri-seri penuh
kegembiraan. Kata pemuda "Wahai Imam Muslimin, mudah-mudahan Allah
mengasihani engkau sebagaimana engkau mengasihani aku."
ABU NAWAS - YANG LEBIH KAYA DAN
MENCINTAI FITNAH
Seperti biasa, Abu Nawas
berjalan-jalan mengunjungi pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena
dari tempat ini ia dapat menyampaikan ide-idenya ke masyarakat luas secara
langsung.
Tiba-tiba ia berdiri di
suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan
suara agak keras, ia mulai berpidato, "Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu
saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al
Rasyid."
Seluruh isi pasar terdiam,
pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggu-nunggu kalimat
berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua
tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri.
"Kalian harus tahu,
bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah."
Tiba-tiba bergemeruhlah
suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang
keluar mulut si Abu Nawas.
"Tenang....tenang.....tenang
saudara. Masih ada lagi."
Lagi-lagi seluruh orang
pasar terdiam.
"Baginda kita itu,
sebenarnya sangaaaaaaat mencintai fitnah."
Meledaklah lagi gemuruh
orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu
Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua
lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah
tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap
raja Harun Al Rasyid.
Dengan muka geram, raja
Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya.
"Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari
Allah?"
"Benar baginda."
Makin geramlah Harun Al
Rasyid.
"Apakah benar kamu
juga mengatakan bahwa aku mecintai fitnah?"
"Maaf, Baginda. Itu
benar adanya," jawab Abu Nawas tenang.
"Pengawal!! Bawa Abu
Nawas ke penjara. Gantung dia besok pagi."
"Tenang, Baginda. Beri
saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu
Nawas memohon dengan wajah yang memelas.
"Cepat katakan!
Sebelum kau temui ajalmu."
"Begini Baginda.
Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda
memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid terdiam. Dia
tersenyum dalam hati. "Dasar. Si Abu Nawas."
"Terus, maksud
kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?"
"Maksudnya, bahwa
Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka
dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid pun hanya
bisa geleng-geleng kepala. "Lalu, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang
tidak paham perkataanmu bisa marah."
"Yah, kalau masyarakat
marah. Nanti kan
Saya dipanggil oleh, Baginda."
"Kalau Aku sudah
memanggil, memang kenapa?"
"Hmmmm....Yah...biar
dikasih hadiah, Baginda," ucap Abu Nawas lirih.
Baginda pun hanya bisa
tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.
BUNGLON DAN KELELAWAR
Suatu kali pernah timbul
pertentangan antara beberapa ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian
antara mereka sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu sudah
melampaui batas. Para kelelawar setuju bahwa
jika saat petang menjelang malam telah menyebar melalui ceruk lingkaran langit,
dan matahari telah turun di hadapan bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya
matahari, mereka akan bersama-sama menyerang si bunglon dan, setelah
menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka hati dan melampiaskan dendam.
Ketika saat yang dinantikan tiba, mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan
semuanya bersama-sama menyeret bunglon yang malang dan tak berdaya itu ke dalam sarang
mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya.
Ketika fajar tiba, mereka
bertanya-tanya apakah sebaiknya bunglon itu disiksa saja. Mereka semua setuju
bahwa dia harus dibunuh, tetapi mereka masih merencanakan bagaimana cara
terbaik untuk melaksanakan pembunuhan itu. Akhirnya mereka memutuskan bahwa
siksaan yang paling menyakitkan adalah dihadapkan pada matahari. Tentu saja,
mereka sendiri tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan, selain
berada dekat dengan matahari; dan, dengan membuat analogi dengan keadaan mereka
sendiri, mereka mengancam supaya dia memandang matahari. Bunglon itu, sudah
pasti, tidak mengharapkan yang lebih baik lagi. 'Penghukuman' semacam itu
persis seperti yang diinginkannya, sebagaimana dikatakan oleh Husayn Manshur.
Bunuhlah aku,
kawan-kawanku, sebab dengan terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku ada
dalam kematianku, dan kematianku ada dalam hidupku. (keterangan: baris-baris
ini terdapat dalam Al-Hallaj, 14.1)
Maka ketika matahari
terbit, mereka membawanya keluar dari rumah mereka yang menyedihkan agar dia
tersiksa oleh cahaya matahari, siksaan yang sesungguhnya merupakan jalan
keselamatan baginya.
Janganlah kamu mengira
orang-orang yang gugur dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak! Bahkan
mereka hidup. Mereka mendapat rizki dan Tuhannya. (QS 3:169)
Kalau saja para kelelawar
itu tahu betapa murah hati tindakan mereka terhadap bunglon itu, dan betapa
mereka telah berbuat keliru, karena mereka justru memberinya kesenangan, mereka
pasti akan mati sedih. Bu-Sulayman Darani berkata, "Jika orang-orang yang
lalai itu tahu betapa mereka telah mengabaikan kesenangan orang-orang yang
sadar, mereka pasti akan mati karena kecewa." (dikutip dalam bahasa Persia
'Aththar, Tadzkirah, hal. 282)
BURUNG DAN TELUR
Zaman dahulu ada seekor
burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang. Seperti ayam, ia
berjalan-jalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung yang bisa
terbang.
Karena berbagai keadaan,
ada telur seekor burung yang bisa dierami oleh burung yang tak bisa terbang
itu.
Setelah sampai waktunya,
telur itu pun menetas.
Burung kecil itu masih memiliki kemampuan
untuk terbang yang diwarisi dari ibunya, yang tersimpan dalam dirinya sejak ia
masih berada dalam telur.
Ia pun berkata kepada orang
tua angkatnya, "Kapan aku akan terbang?" Dan burung yang hanya bisa
berjalan di tanah itu menjawab, "Cobalah terus menerus belajar terbang,
seperti yang lain."
Yang tua itupun tidak tahu
bagaimana mengajarkan cara terbang kepada anak angkatnya: ia bahkan tidak tahu
bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar bisa belajar terbang.
Dan aneh bahwa burung kecil
itu tidak mengetahui hal tersebut. Pemahamannya terhadap keadaan terkacau oleh
kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada burung yang telah
mengeraminya.
"Tanpa jasa itu,"
katanya kepada diri sendiri, "tentu aku masih berada dalam telur."
Dan ia juga kadang-kadang
berkata kepada dirinya sendiri, "Siapa pun bisa mengeramiku, tentu bisa
juga mengajarku terbang. Tentunya hanya soal waktu saja, atau karena usahaku
yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung: ya, ini jawabnya.
Tiba-tiba suatu hari aku akan terbawa ke tahap berikutnya oleh-nya yang telah
membawaku sejauh ini."
ORANG-ORANG BUTA DAN GAJAH
Di seberang Ghor ada sebuah
kota. Semua
penduduknya buta. Seorang raja dengan pengikutnya lewat dekat kota itu; ia membawa tentara dan memasang
tenda di gurun. Ia mempunyai seekor gajah perkasa, yang dipergunakannya untuk
berperang dan menimbulkan ketakjuban rakyat.
Penduduk kota itu ingin sekali melihat gajah tersebut,
dan beberapa di antara orang-orang buta itupun berlari-lari bagaikan
badut-badut tolol berusaha mendekatinya.
Karena sama sekali tidak
mengetahui bentuk dan ujud gajah, merekapun meraba-raba sekenanya, mencoba
membayangkan gajah dengan menyentuh bagian tubuhnya.
Masing-masing berpikir
telah mengetahui sesuatu, sebab telah menyentuh bagian tubuh tertentu.
Ketika mereka kembali ke
tengah-tengah kaumnya, orang-orang pun berkerumun di sekeliling mereka.
Orang-orang itu keliru mencari tahu tentang kebenaran dari rekan-rekannya
sendiri yang sebenarnya telah tersesat.
Kerumunan orang itu
bertanya tentang bentuk dan ujud gajah: dan mendengarkan segala yang
diberitahukan kepada mereka.
Orang yang tangannya
menyentuh telinga gajah ditanya tentang bentuk gajah. Jawabnya, "Gajah itu
lebar, kasar, besar, dan luas, seperti babut."
Dan orang yang meraba
belalainya berkata, "Saya tahu keadaan sebenarnya. Gajah itu bagai pipa
lurus dan kosong, dahsyat dan suka menghancurkan."
Orang yang menyentuh
kakinya berkata, "Gajah itu perkasa kokoh, bagaikan tiang."
Masing-masing telah meraba
satu bagian saja. Masing-masing telah keliru menangkapnya. Tidak ada pikiran
yang mengetahui segala: pengetahuan bukanlah sahabat Si Buta. Semuanya
membayangkan sesuatu, yang sama sekali keliru.
Makhluk tidak mengetahui
perihal ketuhanan. Tak ada Jalan dalam pengetahuan ini yang bisa ditempuh
dengan kemampuan biasa.
ORANG YANG MUDAH NAIK DARAH
Setelah bertahun-tahun
lamanya, seorang yang sangat mudah marah menyadari bahwa ia sering mendapat
kesulitan karena sifatnya itu.
Pada suatu hari ia
mendengar tentang seorang darwis yang berpengetahuan dalam; iapun menemuinya
untuk mendapatkan nasehat.
Darwis itu berkata,
"Pergilah ke perempatan anu. Di sana
kau akan menemukan sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya dan berikan air
kepada siapapun yang lewat di depanmu."
Orang itu pun menjalankan
nasehat tersebut. Hari demi hari berlalu, dan ia pun dikenal baik sebagai orang
yang mengikuti sesuatu latihan kebaikan hati dan pengendalian diri, di bawah
perintah seorang yang berpengetahuan sangat dalam.
Pada suatu hari ada seorang
lewat bergegas; ia membuang mukanya ketika ditawari air, dan meneruskan
perjalanannya. Orang yang mudah naik darah itu pun memanggilnya berulang kali,
"Hai, balas salamku! Minum air yang kusediakan ini, yang kubagikan untuk
musafir!"
Namun, tak ada jawaban.
Karena sifatnya yang dulu, orang
pertama itu tidak bisa lagi menguasai dirinya. Ia ambil senjatanya, yang
digantungkannya dipohon mati itu; dibidiknya pengelana yang tak peduli itu, dan
ditembaknya.
Pengelana itupun roboh,
mati.
Pada saat peluru menyusup
ke tubuh orang itu, pohon mati tersebut, bagaikan keajaiban, tiba-tiba penuh
dengan bunga.
Orang yang baru saja
terbunuh itu seorang pembunuh; ia sedang dalam perjalanan untuk melaksanakan
kejahatan yang paling mengerikan selama perjalanan hidupnya yang panjang.
Nah, ada dua macam
penasehat. Yang pertama adalah penasehat yang memberi tahu tentang apa yang
harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang pasti, yang diulang-ulang
secara teratur. Macam yang kedua adalah Manusia Pengetahuan. Mereka yang
bertemu dengan Manusia Pengetahuan akan meminta nasehat moral, dan
menganggapnya sebagai moralis. Namun yang diabdinya adalah Kebenaran, bukan
harapan-harapan saleh.
Catatan :
Guru Darwis yang
digambarkan dalam kisah ini konon adalah Najamudin Kubra, salah seorang yang
paling agung di antara para ulama Sufi. Ia mendirikan Mazhab Kubrawi
'Persaudaraan Lebih Besar' yang sangat mirip dengan Mazhab yang kemudian
didirikan oleh Santo Fransiskus. Seperti Santo Asisi, Najamudin dikenal
memiliki kekuasaan gaib atas binatang.
Najamudin adalah salah
seorang di antara enam ratus ribu orang yang mati ketika Khwarizm di Asia
Tengah dihancurkan pada tahun 1221. Konon, Jengis Khan Si Mongol Agung bersedia
menolong jiwanya jika Najamudin mau menyerahkan diri, karena Sang Kaisar
mengetahui kemampuan istimewa Sang Darwis. Tetapi Najamudin tetap berada di
antara para pembela kota
itu dan kemudian ditemukan di antara korban perang tersebut.
Karena telah mengetahui
akan datangnya mala petaka itu, Najamudin menyuruh pergi semua pengikutnya ke
tempat aman beberapa waktu sebelum munculnya gerombolan Mongol tersebut.
SI LUMPUH DAN SI BUTA
Pada suatu hari seorang
lumpuh pergi ke sebuah warung dan duduk disamping seseorang yang sudah sejak
tadi disana. "Saya tidak bisa datang ke pesta Sultan," keluhnya, karena
kakiku yang lumpuh sebelah ini aku tak bisa berjalan cepat."
Orang disebelahnya itu
mengangkat kepalanya. "Saya pun di undang," katanya, "tetapi
keadaanku lebih buruk dari Saudara. Saya buta, dan tak bisa melihat jalan,
meskipun saya juga diundang."
Orang ketiga, yang
mendengar percakapan kedua orang itu, berkata, "Tetapi, kalau saja kalian
menyadarinya, kalian berdua mempunyai sarana untuk mencapai tujuan. Yang buta
bisa berjalan, yang lumpuh didukung di pungung. Kalian bisa menggunakan kaki si
Buta, dan Si Lumpuh untuk menunjukkan jalan."
Dengan cara itulah keduanya
bisa mencapai tujuan, dan pesta sudah menanti.
Dalam perjalanan, keduanya
sempat berhenti di sebuah warung lain. Mereka menjelaskan keadaannya kepada dua
orang lain yang duduk bersedih disana. Kedua orang itu, yang seorang tuli, yang
lain bisu.
Keduanya juga diundang ke
pesta. Yang bisu mendengar, tetapi tidak bisa menjelaskannya kepada temannya
yang tuli itu. Yang tuli bisa bicara, tetapi tidak ada yang bisa dikatakannya.
Kedua orang itu tak ada
yang bisa datang ke pesta; sebab kali ini tak ada orang ketiga yang bisa
menjelaskan kepada mereka bahwa ada masalah, apalagi bagaimana cara mereka
memecahkan masalah itu.
TOKO LAMPU
Pada suatu malam gelap, dua
orang bertemu di sebuah jalan yang sunyi.
"Saya mencari sebuah
toko dekat-dekat sini, namanya Toko Lampu," kata yang pertama.
"Saya kebetulan orang
sini, dan bisa menunjukkannya pada saudara," kata orang kedua.
"Saya harus bisa
menemukannya sendiri. Saya sudah diberi petunjuk, dan sudah saya catat
pula," kata yang pertama.
"Jadi, kenapa Saudara
mengatakan hal itu kepada saya?"
"Iseng saja."
"Jadi Saudara ingin
ditemani, tidak ditunjukkan arahnya?"
"Ya, itulah maksud
saya."
"Tetapi lebih mudah
bagi Saudara kalau ditunjukkan arahnya oleh penduduk sini, sudah sejauh ini:
apalagi mulai dari sini jalannya sulit."
"Saya percaya pada apa
yang sudah dikatakan kepada saya, yang telah membawaku sejauh ini. Saya tidak
yakin bisa mempercayai sesuatu atau seseorang lain lagi."
"Jadi, meskipun
Saudara mempercayai pemberi keterangan yang pertama, Saudara tidak diajar cara
memilih orang yang bisa Saudara percayai?"
"Begitulah."
"Saudara punya tujuan
lain?"
"Tidak, hanya mencari
Toko Lampu itu."
"Boleh saya bertanya:
kenapa Saudara mencari toko lampu itu?"
"Sebab saya diberi
tahu para ahli bahwa di tempat itulah saya bisa mendapatkan alat-alat yang
memungkinkan orang membaca dalam gelap."
"Saudara benar, tetapi
ada syarat, dan juga sedikit keterangan. Saya ragu apakah mereka sudah memberitahukan
hal itu kepada Saudara."
"Apa itu?"
"Syarat untuk bisa
membaca dengan lampu adalah bahwa Saudara harus sudah bisa membaca."
"Saudara tidak bisa
membuktikannya!"
"Tentu saja dalam
malam gelap semacam ini saya tidak bisa membuktikannya."
"Lalu, ,sedikit
keterangan, itu apa?"
"Sedikit keterangan
itu adalah bahwa Toko Lampu itu masih di sana,
tetapi lampu-lampunya sudah dipindah ke tempat lain."
"Saya tidak tahu
'lampu' itu apa, tetapi tampaknya Toko Lampu adalah tempat menyimpan alat
tersebut. Oleh karena itulah ia disebut Toko Lampu."
"Tetapi 'Toko Lampu'
bisa mempunyai dua makna yang berbeda, yang bertentangan. Yang pertama, 'Tempat
di mana lampu-lampu bisa didapatkan;' yang ke dua, "Tempat di mana
lampu-lampu pernah bisa didapatkan, tetapi kini tidak ada lagi."
"Saudara tidak bisa
membuktikannya!"
"Saudara akan dianggap
tolol oleh kebanyakan orang."
"Tetapi ada banyak
orang yang akan menganggap Saudara tolol. Mungkin Saudara bukan Si Tolol.
Saudara mungkin mempunyai maksud tersembunyi, menyuruh saya pergi ke tempat
teman Saudara yang berjualan lampu. Atau mungkin Saudara tidak menginginkan
saya mempunyai lampu sama sekali."
"Saya ini lebih buruk
dari yang Saudara bayangkan. Saya tidak menjanjikan Saudara 'Toko Lampu' dan
membiarkan Saudara menganggap bahwa masalah Saudara akan terpecahkan di sana, tetapi saya
pertama-tama ingin mengetahui apakah Saudara ini bisa membaca. Saya tentu bisa
mengetahuinya seandainya Saudara berada dekat sebuah toko semacam itu. Atau
apakah lampu bisa didapatkan bagi Saudara dengan cara lain."
Kedua orang itu saling
memandang, dengan sedih, sejenak. Lalu masing-masing melanjutkan perjalanannya.
SEMUT DAN CAPUNG
Seekor semut yang
pikirannya tersusun dalam rencana teratur, sedang mencari-cari madu ketika seekor
capung hinggap menghisap madu dari bunga itu. Capung itu melesat pergi untuk
kemudian datang kembali.
Kali ini Si Semut berkata,
"Kau ini hidup tanpa
usaha, dan kau tak punya rencana. Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun
kira-kira, apa pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir?"
Kata Si Capung,
"Aku bahagia, dan aku
mencari kesenangan, ini jelas ada dan nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau
boleh merencanakan sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih
berharga daripada yang kulakukan ini. Kaulaksanakan saja rencanamu, dan aku
rencanaku."
Semut berpikir,
"Yang tampak padaku
ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa yang terjadi pada semut. Aku tahu apa
yang terjadi pada capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku."
Dan semutpun berlalu, sebab
ia telah memberikan teguran sebaik-baiknya dalam masalah itu. Beberapa waktu
sesudah itu, mereka pun bertemu lagi. Si Semut menemukan kedai tukang daging,
dan ia berdiri di bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja apa
yang mungkin datang padanya. Si Capung, yang melihat daging merah dari atas,
menukik dan hinggap diatasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun
dan membelah capung itu menjadi dua. Separoh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki
semut itu. Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke sarang, semut
itu berkata kepada dirinya sendiri.
"Rencananya tamat
sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya -sudah berakhir,
Aku laksanakan rencanaku -mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting,
nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan dimakan. Ketika aku
katakan hal ini, yang mungkin dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak
kesenangan orang lain."
TIGA CINCIN BERLIAN
Pada zaman dahulu, ada seorang
bijaksana dan sangat kaya yang mepunyai seorang anak laki-laki. Katanya kepada
anaknya, "Ini cincin permata. Simpanlah sebagai bukti bahwa kau ahli
warisku, dan nanti wariskan kepada anak-cucumu. Harganya mahal, bentuknya
indah, dan memiliki kemampuan pula untuk membuka pintu kekayaan."
Beberapa tahun kemudian, Si
Kaya itu mempunyai anak laki-laki lagi. Ketika anak itu sudah dewasa, ayahnya
memberi pula cincin serupa, disertai nasehat yang sama.
Hal yang sama juga terjadi
atas anak laki-lakinya yang ketiga, yang terakhir.
Ketika Si Tua sudah
meninggal dan anak-anaknya menjadi dewasa, masing-masing mengatakan
keunggulannya sehubungan dengan cincin yang dimilikinya. Tak ada seorangpun
yang bisa memastikan cincin mana yang paling berharga.
Masing-masing anak
mempunyai pengikut, yang menyatakan cincinnya memiliki nilai dan keindahan
lebih unggul.
Namun kenyataan yang
mengherankan adalah bahwa pintu kekayaan itu selama ini masih juga tertutup
bagi pemilik cincin itu, juga bagi pengikutnya terdekat. Mereka tetap saja
meributkan hak yang lebih tinggi, nilai, dan keindahan sehubungan dengan cincin
tersebut.
Hanya beberapa orang saja
yang mencari pintu kekayaan Si Tua yang sudah meninggal itu. Tetapi
cincin-cincin itu memiliki kekuatan magis juga. Meskipun disebut kunci,
cincin-cincin itu tidak bisa langsung dipergunakan membuka pintu kekayaan.
Sudah cukup kalau diperhatikan saja, salah satu nilai dan keindahannya tanpa
rasa persaingan atau rasa sayang yang berlebihan. Kalau hal itu dilakukan,
orang yang melihatnya akan bisa mengatakan tempat kekayaan itu, dan dapat
membukanya dengan hanya menunjukkan lingkaran cincin itu. Harta itu pun
memiliki nilai lain: tak ada habisnya.
Sementara itu para pembela
ketiga cincin itu mengulang-ngulang kisah leluhurnya tentang manfaatnya,
masing-masing dengan cara yang agak berbeda.
Kelompok pertama
beranggapan bahwa mereka telah menemukan harta itu. Yang kedua berpikir bahwa
kisah itu hanya ibarat saja.
Yang ketiga menafsirkannya
sebagai kemungkinan membuka pintu kearah masa depan yang dibayangkan sangat
jauh dan terpisah.
TIGA EKOR IKAN
Konon, di sebuah kolam
tinggal tiga ekor ikan: Si Pandai, Si Agak Pandai, dan Si Bodoh. Kehidupan
mereka berlangsung biasa saja seperti ikan-ikan lain, sampai pada suatu hari
ketika kolam itu kedatangan-seorang manusia.
Ia membawa jala; dan Si
Pandai melihatnya dari dalam air. Sadar akan pengalamannya, cerita-cerita yang
pernah didengarnya, dan kecerdikannya, Si Pandai memutuskan untuk melakukan
sesuatu.
"Hampir tak ada tempat
berlindung di kolam ini," pikirnya "Jadi saya akan pura-pura mati
saja."
Ia mengumpulkan segenap
tenaganya dan meloncat ke luar kolam, jatuh tepat di kaki nelayan itu. Tentu
saja si Nelayan terkejut. Karena ikan tersebut menahan nafas, nelayan itu
mengiranya mati: ia pun melemparkan ikan itu kembali ke kolam. Ikan itu
kemudian meluncur tenang dan bersembunyi di sebuah ceruk kecil dekat pinggir
kolam.
Ikan yang kedua, Si
Agak-Pandai, tidak begitu memahami apa yang telah terjadi. Ia pun berenang
mendekati Si Pandai dan menanyakan hal itu. "Gampang saja," kata Si
Pandai, "saya pura-pura mati, dan nelayan itu melemparkanku kembali ke
kolam."
Si Agak-Pandai itu pun
segera melompat ke darat, jatuh dekat kaki nelayan. "Aneh," pikir
nelayan itu, "ikan-ikan ini berloncatan ke luar air." Namun, Si Agak
Pandai ini ternyata lupa menahan nafas, dan iapun dimasukkan ke kepis.
Ia kembali mengamat-amati
kolam, dan karena agak heran memikirkan ikan-ikan yang berloncatan ke darat, ia
pun lupa menutup kepisnya. Menyadari hal ini, Si Agak-Pandai berusaha
melepaskan diri ke luar dari kepis, membalik-balikkan badannya, dan masuk
kembali ke kolam. Ia mencari-cari ikan pertama, ikut bersembunyi di dekatnya
--nafasnya terengah-engah.
Dan ikan ke tiga, Si Bodoh,
tidak bisa mengambil pelajaran dari segala itu, meskipun ia telah mengetahui
pengalaman kedua ikan sebelumnya. Si Pandai dan Si Agak-Pandai memberi
penjelasan secara terperinci, menekankan pentingnya menahan nafas.
"Terimakasih: saya
sudah mengerti," kata Si Bodoh. Sehabis mengucapkan itu, ia pun
melemparkan dirinya ke darat, jatuh tepat dekat kaki nelayan. Sang nelayan
langsung memasukkan ikan ketiga itu kedalam kepisnya tanpa memperhatikan apakah
ikan itu bernafas atau tidak. Berulang kali dilemparkannya jala ke kolam, namun
kedua ikan yang pertama tadi dengan aman bersembunyi dalam sebuah ceruk. Dan
kepisnya sekarang tertutup rapat.
Akhirnya nelayan itu
menghentikan usahanya. Ia membuka kepisnya, menyadari bahwa ternyata ikan yang
di dalamnya tidak bernafas. Ikan itupun dibawanya pulang untuk makanan kucing.
ULAR DAN MERAK
Pada suatu hari, seorang
muda bernama Adi, Si Mesin Hitung -karena ia belajar matematika-memutuskan
untuk meninggalkan Bhokara guna mencari ilmu yang lebih tinggi. Gurunya
menasehatkan agar ia berjalan ke arah selatan, dan katanya, "Carilah makna
Merak dan Ular." tentu saja anjuran itu membuat Adi berpikir keras.
Ia mengembarai Khorasan dan
akhirnya sampai di Irak. Di negeri Irak, ia benar-benar menemukan tempat yang
terdapat seekor merak dan seekor ular. Adipun mengajak bicara mereka. Kedua
binatang itu berkata, "Kami sedang memperbincangkan keunggulan kami
masing-masing."
"Nah, justru itu yang
ingin kuketahui," kata Adi. "Teruskan berbincang-bincang."
"Rasanya, akulah yang
lebih berguna," kata Merak, "Aku melambangkan cita-cita, perjalanan
ke langit keindahan sorgawi, dan karenanya juga pengetahuan adiluhung. Adalah
tugasku untuk mengingatkan manusia, dengan cara menirukan, tentang segi-segi
dirinya yang tak dilihatnya."
"Sebaliknya,
aku," kata Ular, sambil mendesis pelahan, "melambangkan hal itu juga.
Seperti manusia, aku terikat pada bumi Kenyataan itu menyebabkan manusia
menyadari dirinya. Juga seperti manusia, aku lentur, bisa berkelok-kelok
menyusur tanah. Manusia sering melupakan kenyataan itu. Menurut kisah , akulah
penjaga harta yang tersembunyi di bumi."
"Tetapi kau
menjijikkan," teriak Merak. "Kau licik, licin, dan berbahaya."
"Kau menyebut
sifat-sifat kemanusiaanku," kata Ular, "sedangkan aku lebih suka
menunjukkan sifat-sifatku yang lain, yang sudah kusebut-sebut tadi. Sekarang,
lihat dirimu sendiri: kau sombong, kegemukan, dan suaramu serak. Kakimu terlalu
besar, bulu-bulumu berlebihan panjangnya."
Sampai disini Adi menyela,
"Hanya ketidak-cocokanmulah yang telah menyebabkan aku mengetahui bahwa
tak ada di antara kalian yang benar. Namun kita jelas-jelas melihat, apabila
kalian sama-sama meninggalkan keasyikan diri sendiri, secara bersama-sama
kalian bisa memberi pesan bagi kemanusiaan."
Dan, sementara dua pihak
yang bertengkar itu mendengarkannya, Adi menjelaskan peran mereka bagi
kemanusiaan: "Manusia melata di tanah bagai Si Ular. Ia bisa melayang
tinggi bagai Burung. Namun, karena tamak seperti Ular, ia tetap mempertahankan
kepentingan diri sendiri ketika berusaha terbang, dan mereka menjadi seperti
Merak; terlampau sombong. Dalam diri Merak, kita melihat kemungkinan manusia,
namun yang tidak tercapai dengan semestinya. Pada kilauan Ular, kita
menyaksikan kemungkinan keindahan. Pada Merak, kita menyaksikan keindahan itu
menjadi terlalu berbunga-bunga."
Dan kemudian terdengar
Suara dari dalam berbicara kepada Adi, "Itu belum lengkap. Kedua makhluk
itu diberkahi kehidupan, yang merupakan faktor penentu. Mereka bertengkar
karena masing-masing
telah merasa aman dalam
jenis kehidupannya sendiri, beranggapan bahwa hal itu merupakan perwujudan
suatu kedudukan yang sebenarnya. Namun, yang seekor menjaga harta dan tidak
bisa mempergunakannya. Yang lain mencerminkan keindahan, harta juga, namun
tidak bisa mengubah dirinya sendiri menjadi keindahan. Di Samping
ketidakmampuan keduanya untuk mengambil keuntungan dari kesempatan yang terbuka
bagi mereka keduanya pun melambangkan kesempatan itu --tentu bagi mereka yang
bisa melihat dan mendengarnya."
TIGA NASEHAT
Pada suatu hari ada
seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, "Aku tak berguna
bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat."
Si Burung berjanji akan
memberikan nasehat pertama ketika masih berada dalam genggaman orang itu, yang
kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon, dan yang ketiga
ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, dan
meminta nasehat pertama.
Kata burung itu,
"Kalau kau kehilangan
sesuatu, meskipun kau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."
Orang itupun melepaskannya,
dan burung itu segera melompat ke dahan.
Di sampaikannya nasehat
yang kedua,
"Jangan percaya kepada
segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti."
Kemudian burung itu terbang
ke puncak gunung. Dari sana
ia berkata,
"O manusia malang! diriku terdapat
dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan
memperolehnya!"
Orang itu sangat menyesal
memikirkan kehilangannya, namun katanya, "Setidaknya, katakan padaku
nasehat yang ketiga itu!"
Si Burung menjawab,
"Alangkah tololnya
kau, meminta nasehat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kaurenungkan sama
sekali! Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan
mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan
keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu.
Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar!
Kau tolol. Oleh karenanya
kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia."
TIGA KEBENARAN
Para Sufi dikenal sebagai
Pencari Kebenaran, yang berupa kenyataan obyektif. Konon, seorang tiran yang
bodoh dan dengki memutuskan untuk memiliki kebenaran ini. Namanya Rudarigh,
seorang raja besar di Marsia, Spanyol. Ia menetapkan bahwa kebenaran akan bisa
didengarnya kalau Umar al-Alawi dari Tarragona
dipaksa untuk mengatakannya.
Umar pun di tangkap dan
dibawa ke Istana. Kata Rudarigh, "Aku telah memutuskan agar kebenaran yang
kau ketahui harus kaukatakan kepadaku dalam kata-kata yang bisa kumengerti,
kalau tidak nyawamu harus kau pertaruhkan."
Umar menjawab, "Apakah
Tuan mengetahui kebiasaan dalam istana perkasa ini, apabila seorang yang
ditahan mengungkapkan kebenaran sebagai jawaban atas suatu pertanyaan dan
kebenaran itu tidak membuktikannya salah, maka ia akan dibebaskan
kembali?"
"Memang
demikian," kata Raja.
"Saya minta semua yang
hadir di sini menjadi saksi," kata Umar, "dan saya tidak hanya akan
mengungkapkan satu kebenaran, tetapi tiga."
"Kami juga harus
yakin," kata Rudarigh, "bahwa yang kau sebut kebenaran itu memang
benar-benar kebenaran. Harus ada bukti-bukti yang menyertainya."
"Bagi Raja seperti
baginda," kata Umar, "yang pantas menerima tidak hanya satu kebenaran
tetapi sekaligus tiga, kami juga akan bisa memberikan kebenaran yang nyata
dengan sendirinya."
Rudarigh sangat puas
menerima pujian itu.
"Kebenaran
pertama," kata Si Sufi, "adalah, sayalah yang bernama Umar Si Sufi
dari Tarragona.
Yang kedua adalah bahwa Baginda akan melepaskan saya jika saya telah
mengungkapkan kebenaran. Yang ketiga, Baginda ingin mendengarkan kebenaran yang
bisa Baginda pahami."
Karena kesan yang
ditimbulkan oleh kata-kata tersebut, Rajapun terpaksa membebaskan kembali
darwis itu.
SUMPAH
Pada suatu hari, seorang
yang kalut pikirannya bersumpah, jika semua kesulitannya terpecahkan ia akan
menjual rumahnya dan semua hasil penjualan itu akan diberikannya kepada kaum
miskin.
Akhirnya sampai juga
saatnya, ia harus menunaikan sumpahnya. Tetapi ia tidak ingin memberikan uang
yang didapatnya. Iapun mencari akal.
Ia menjual rumahnya seharga
seperak saja. Namun penjualan itu harus sekalian dengan kucingnya. Harga kucing
itu sepuluh ribu uang perak.
Rumah itu pun terjual. Dan
bekas pemilik rumah itupun memberikan uangnya yang seperak kepada kaum miskin,
yang sepuluh ribu dimasukkan ke kantong sendiri.
Banyak orang berpikiran
demikian itu. Mereka berketetapan menuruti pelajaran; namun, mereka menafsirkan
sedemikian rupa agar menguntungkan dirinya Sampai mereka mampu mengalahkan
kecenderungan itu dengan latihan khusus, mereka sebenarnya tidak bisa menarik
pelajaran apa-apa.
KISAH PASIR
Dari mata airnya yang nun
jauh di gunung sana, sebatang sungai mengalir
melewati apapun di tebing dan ngarai, akhirnya mencapai padang pasir. Selama ini ia telah berhasil
mengatasi halangan apapun dan sekarang berusaha menaklukkan halangan yang satu
ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat melintasinya, airnya segera
lenyap di pasir.
Sungai itu sangat yakin,
bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu,
namun ia tidak bisa mengatasi masalahnya Lalu, terdengar suara tersembunyi yang
berasal dari padang
pasir itu, bisiknya, "Angin bisa menyeberangi pasir, Sungai pun
bisa."
Sungai menolak pernyataan
itu, ia sudah cepat-cepat menyeberangi padang
pasir, tetapi airnya terserap: angin bisa terbang, dan oleh karena itulah ia
bisa menyeberangi padang
pasir.
"Dengan menyeberang
seperti yang kulakukan itu jelas, kau tak akan berhasil. Kau hanya akan lenyap
atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilahkan angin membawamu menyeberangi padang pasir, ketempat
tujuan."
Tetapi bagaimana caranya?
"Dengan membiarkan dirimu terserap angin."
Gagasan itu tidak bisa
diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah
terserap. Ia tidak mau kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah
bisa dipastikan akan didapatnya kembali?
"Angin," kata Si
Pasir, "menjalankan tugas semacam itu. Ia membawa air, membawanya terbang
menyeberang padang
pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma
sungai."
"Bagaimana aku bisa
yakin bahwa itu benar?"
"Memang benar, dan
kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi
paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun berpuluh tahun. Dan paya-paya
itu jelas tak sama dengan sungai, bukan?"
"Tapi, tak dapatkah
aku tetap berupa sungai, sama dengan keadaanku kini?"
"Apapun juga yang
terjadi, kau tidak akan bisa tetap berupa dirimu kini," bisik suara itu.
"Bagian intimu terbawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau
disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana
inti itu."
Mendengar hal itu, dalam
pikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika
ia --atau bagian dirinya? --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat-- benar
demikiankah? bahwa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus
terjadi.
Dan sungai itu pun
membubungkan uapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang
kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya
merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak
terkira jauhnya. Dan karena pernah meragukan kebenarannya, sungai itu ini bisa
mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci. Ia
merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya."
Sungai itu telah mendapat
pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya
hari demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir
sampai ke gunung."
Dan itulah sebabnya mengapa
dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya tertulis di
atas Pasir.
PERUMPAMAAN ORANG-ORANG TAMAK
Zaman dahulu ada seorang
petani yang suka bekerja keras dan berbudi baik, yang mempunyai beberapa anak laki-laki
yang malas dan tamak. Ketika sekarat, Si Tua mengatakan kepada anak-anaknya
bahwa mereka akan menemukan harta karun kalau mau menggali tempat tertentu di
kebun. Segera setelah ayah itu meninggal, anak-anaknya bergegas kekebun,
menggalinya dan satu sudut ke sudut lain, dengan putus asa dan kehendak yang
semakin memuncak setiap kali mereka tidak menemukan emas di tempat yang disebut
ayahnya tadi.
Namun mereka sama sekali
tidak menemukan emas. Karena menyadari bahwa ayah mereka itu tentunya telah membagi-bagikan
emasnya semasa hidupnya, lelaki-lelaki muda itupun menanggalkan usahanya.
Akhirnya, terpikir juga oleh mereka, karena tanah sudah terlanjur dikerjakan,
tentunya lebih baik ditanami benih. Mereka pun menanam gandum, yang hasilnya
melimpah-limpah. Mereka menjualnya, dan tahun itu mereka menjadi kaya.
Setelah musim panen,
mereka-berpikir lagi tentang harta terpendam yang mungkin masih luput dari
penggalian mereka; mereka pun menggali lagi ladang mereka, namun hasilnya sama
saja.
Setelah bertahun-tahun
lamanya, merekapun menjadi terbiasa bekerja keras, disamping juga mengenal
musim, hal-hal yang tidak pernah mereka pahami sebelumnya. Kini mereka memahami
cara ayah mereka melatih mereka; mereka pun menjadi petani-petani yang jujur
dan senang. Akhirnya mereka memiliki kekayaan yang cukup untuk membuat mereka
sama sekali melupakan perkara harta terpendam tersebut.
Itulah juga ajaran tentang
pengertian terhadap nasib manusia dan karma kehidupan. Guru, yang menghadapi
ketidaksabaran, kekacauan, dan ketamakan murid murid, harus mengarahkan mereka
ke suatu kegiatan yang diketahuinya akan bermanfaat dan menguntungkan mereka
tetapi yang kepentingan dan tujuannya sering tidak terlihat oleh murid-mulid
itu karena kebelumdewasaan mereka.
RAKSASA DAN SUFI
Seorang ahli sufi yang
sedang mengadakan perjalanan lewat sebuah perbukitan yang terpencil tiba-tiba
berhadapan dengan raksasa--setan tinggi besar, yang akan menghancurkannya. Sufi
itu berkata, "Baik, silahkan mencobanya; tetapi aku bisa mengalahkanmu,
sebab aku sangat perkasa dalam pelbagai hal, lebih dari yang kau
bayangkan." "Omong kosong," kata Raksasa. "Kau ahli Sufi,
yang terpikat pada masalah rohani. Kau tak akan bisa mengalahkan aku, sebab aku
memiliki kekuatan badaniah, aku tiga puluh kali lebih besar darimu."
"Kalau kau
menginginkan uji kekuatan," kata Sufi, "ambil batu ini dan perahlah
air darinya." Ia memungut sebutir batu kecil lalu memberikannya kepada Si
Setan. Setelah berusaha sekuat tenaga, Raksasa itu menyerah. "Tak mungkin;
tak ada air dalam batu ini. Coba tunjukkan kalau memang ada airnya." Dalam
keremang-remangan, Sang Sufi mengambil batu itu, juga mengambil sebutir telur
dari kantungnya, lalu memerah keduanya, meletakkan tangannya di atas tangan
Raksasa. Sang Raksasa sangat terkesan; sebab orang memang suka terkesan oleh
hal-hal yang tidak dipahami, dan menghargainya tinggi-tinggi, lebih tinggi dari
yang seharusnya mereka berikan.
"Aku harus memikirkan
hal ini," katanya. "Mari kuajak kau ke guaku, dan akan kujamu kau
malam ini." Sang Sufi mengikutinya masuk ke sebuah gua yang sangat besar,
penuh dengan barang-barang milik para pengembara tersesat yang sudah dibunuh,
benar-benar merupakan gua Aladin. kata Si Setan, "besok aku akan
rnemberikan keputusan." Ia pun membaringkan dirinya dan segera tertidur.
Sang Sufi, yang secara
naluri mengetahui adanya bahaya pengkhianatan, segera merasa harus bangkit dan
menyembunyikan diri ditempat yang agak jauh dari Raksasa. Itu dilakukannya
sesudah mengatur tempat pembaringannya tadi, agar seolah-olah nampak ia masih
tidur disamping Si Raksasa.
Tidak lama setelah ia
pindah tempat itu, Si Raksasa pun bangun. Ia mengambil sebuah batang pohon,
menghajar Ahli Sufi yang dikiranya masih tidur disebelahnya itu dengan tujuh
pukulan yang sangat kuat. Lalu ia berbaring lagi, langsung tidur. Sang Sufi
kembali ketempat tidurnya semula, berbaring lalu memanggil Raksasa.
"O Raksasa, guamu ini
sangat menyenangkan, tetapi aku baru saja digigit nyamuk tujuh kali. Kau harus
menyingkirkan nyamuk itu."
Hal ini tentu saja sangat
mengejutkan Raksasa sehingga ia tidak berani lagi menyerang Sang Sufi.
Bagaimanapun, kalau seorang telah dipukul tujuh kali dengan sebuah batang pohon
oleh Raksasa yang menggunakan tenaga sekuat-kuatnya.
Paginya, Si Raksasa
memberikan kantong kulit lembu kepada Sang Sufi, katanya, "Ambil air untuk
makan pagi, agar kita bisa membuat teh." Sang Sufi tidak mengambil kantong
itu (yang begitu besar sehingga diangkatpun sulit), tetapi pergi menuju ke
sebuah sungai kecil untuk menggali saluran air kecil ke arah gua. Si Raksasa
menjadi haus, "Kenapa tak kau bawa air?"
"Sabar, Sobat, saya
sedang membuat saluran tetap menuju mulut gua, agar nantinya kau tak usah
membawa-bawa kantong berat itu untuk mengambil air." Tetapi Raksasa itu
terlalu haus dan tak sabar menanti. Diambilnya kantong kulit itu, lalu ia
menuju ke sungai mengisinya dengan air. Ketika teh sudah tersedia, ia meminum
beberapa galon, dan pikirannya mulai menjadi agak jernih. "Kalau kau
memang kuat --dan kau memang telah membuktikannya-- kenapa tak bisa kau gali
saluran itu secara cepat, tetapi sejengkal demi sejengkal?"
"Sebab," kata
Sang Sufi, "tak ada hal yang sungguh-sungguh berharga bisa dikerjakan
tanpa penggunaan tenaga sesedikit mungkin. Setiap hal menuntut penggunaan
tenaga sendiri-sendiri; dan saya menggunakan tenaga sesedikit mungkin untuk
menggali saluran. Disamping itu, aku tahu bahwa kau begitu terbiasa menggunakan
kantong kulit itu sehingga tidak bisa meninggalkan kebiasaanmu."
PARA NELAYAN DAN RUMAH
Pada zaman dahulu, ada seorang
bijaksana dan baik hati, yang memiliki sebuah rumah besar. Dalam perjalanan
hidupnya, ia sering pergi jauh beberapa waktu lamanya. Kalau ia sedang pergi,
rumah itu diserahkan pemeliharaannya kepada para pelayan.
Salah satu sifat para
pelayan itu adalah pelupa. Sering mereka lupa, mengapa berada dalam rumah itu;
demikianlah mereka menjalankan kewajibannya dengan mengulang-ngulang yang sudah
dikerjakan. Tidak jarang pula mereka melakukan pekerjaan dengan cara yang sama
sekali berbeda dengan yang telah diberitahukan kepada mereka. Hal itu terjadi
karena mereka telah melupakan peran mereka di rumah itu.
Konon, ketika pemilik rumah
itu sedang bepergian jauh, muncullah sekelompok pelayan, yang berpikir bahwa
merekalah yang memiliki rumah itu. Karena pengetahuan mereka itu terbatas pada
dunia sehari-hari saja, mereka merasa berada dalam keadaan yang bertentangan.
Misalnya saja, pernah mereka ingin menjual rumah, tetapi tidak bisa mendapatkan
pembeli, karena memang tidak bisa mengurusnya. Pada waktu yang lain orang-orang
datang bermaksud membeli rumah itu, dan menanyakan tentang sertifikat
tanah, tetapi karena para
pelayan itu sama sekali tidak tahu menahu tentang akta, dianggapnya para calon
pembeli itu main-main saja.
Keadaan yang bertentangan
itu juga dibuktikan oleh kenyataan bahwa persediaan untuk rumah senantiasa
muncul "secara rahasia," dan perbekalan itu tidak cocok dengan
anggapan bahwa para penghuni bertanggung jawab untuk seluruh rumah.
Petunjuk-petunjuk untuk
mengurus rumah itu telah ditinggalkan dalam kamar si empunya rumah-- dengan
maksud agar bisa diingat-ingat lagi. Tetapi setelah satu generasi, kamar itu
menjadi begitu keramat sehingga tak ada seorangpun yang diperbolehkan
memasukinya; dan kamar itu pun dianggap sebagai rahasia yang tak tertembus.
Malahan, beberapa diantara pelayan itu beranggapan bahwa kamar itu sama sekali
tak ada, meskipun mereka melihat pintunya. Namun, tentang pintu itu mereka
memberikan penjelasan lain; sekedar hiasan dinding belaka.
Begitulah keadaan para
pelayan rumah tersebut, yang tidak mengambil alih rumah itu, tidak pula tetap
setia kepada petunjuk semula.
CARA MENANGKAP KERA
Konon, ada seekor kera yang
sangat suka makan buah ceri. Pada suatu hari ia melihat ceri yang menerbitkan
liur. Iapun turun dari pohon untuk memetiknya. Tetapi ternyata buah itu berada
dalam sebuah botol gelas yang sangat bening. Setelah beberapa kali dicoba, kera
itu mengetahui bahwa ia bisa memasukkan tangannya, ia mengepalkannya untuk
memegang buah ceri itu. Namun, kemudian disadarinya bahwa tangannya yang
terkepal itu tidak bisa ditariknya ke luar karena ternyata lebih besar dari
leher botol.
Itu semua memang disengaja;
buah ceri tersebut dipasang oleh seorang pemburu kera yang mengetahui cara
berpikir kera.
Si Pemburu mendengar
rengekan kera, datang mendekat dan kerapun berusaha melarikan diri. Tetapi
karena, menurut pikiran kera, tangannya lekat ke botol iapun tidak bisa lari
kencang.
Namun, begitu pikirnya, ia
masih menggenggam buah ceri itu. Si Pemburupun menangkapnya. Sesaat kemudian
siku kera itupun dipukulnya sehingga genggamannya mengendor.
Kera itu bebas dari botol,
tetapi ia tertangkap. Si Pemburu telah mempergunakan ceri dan botol. dan kini
kedua benda itupun masih menjadi miliknya.
BURUNG MERAK RAJA DI BAWAH KERANJANG
Seorang raja mempunyai
sebuah taman, yang sepanjang empat musim selalu ditumbuhi tanam-tanaman yang
wangi, hijau subur dan menyenangkan. Air mengalir berlimpah-limpah melaluinya,
dan segala macam burung bernyanyi dari dahan-dahan pohon. Setiap hal yang baik
dan indah yang dapat kita bayangkan terdapat di dalam taman itu. Dan di antara
semuanya itu ada sekelompok burung merak yang cantik.
Sekali waktu sang raja
mengambil salah seekor burung merak, dan memerintahkannya agar ia dimasukkan ke
dalam kantung kulit supaya bulu-bulunya tidak dapat dilihat, sehingga ia tidak
dapat mengagumi keindahannya sendiri dengan cara apa pun. Dia juga
memerintahkan agar burung merak itu ditempatkan di bawah sebuah keranjang yang
hanya mempunyai satu lubang, melalui lubang itu sedikit biji-bijian dapat
dituangkan ke dalamnya untuk makanannya.
Lama waktu berlalu. Burung
merak itu lupa pada dirinya sendiri, sang raja, taman, dan burung-burung merak
lainnya. Ia melihat pada dirinya sendiri. Burung tersebut tidak melihat apa-apa
kecuali kantung kulit yang kotor itu. Ia mulai menyukai tempat tinggalnya yang
gelap dan jelek; ia percaya di dalam hatinya bahwa tidak mungkin ada tempat
yang lebih besar dari ruangan di dalam keranjang itu, sedemikian rupa sehingga
ia menganggapnya sebagai keyakinan bahwa jika ada orang menyatakan tentang
suatu kehidupan, tempat tinggal atau kesempurnaan di luar yang ia ketahui, maka
ia menganggapnya sebagai kekafiran mutlak, omong kosong besar dan kebodohan
yang murni.
Sekalipun demikian, setiap
kali angin segar berhembus, dan harumnya bunga-bunga dan pepohonan, violet (=
sejenis tumbuhan yang bunganya berbau harum), melati dan tumbuhan rempah-rempah
sampai ke hidung burung itu, ia merasakan kesenangan yang mengejutkan melalui
lubang itu. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Ia merasakan adanya hasrat
untuk pergi dan kerinduan batin, tetapi ia
tidak tahu dari mana
kerinduan itu berasal, sebab, kecuali kantung kulit itu, ia tidak mengetahui
apa-apa; selain keranjang itu, tidak ada dunia lain; selain biji-bijian itu,
tidak ada makanan lain. Ia telah melupakan semuanya. Ketika sekali-sekali ia
mendengar suara burung-burung merak bernyanyi, dan burung-burung lain berlagu,
kerinduan dan hasratnya timbul; tetapi ia tidak terbangunkan oleh suara-suara
burung-burung itu atau hembusan angin. Pernah ia bergairah memikirkan
sarangnya.
Angin sepoi-sepoi bertiup
menyentuhku dan hampir mengucapkan kata-kata, 'aku adalah kurir untukmu dari
kekasihmu.'
Lama sekali ia memikirkan
apa sesungguhnya angin yang harum itu, dan darimanakah bunyi-bunyian yang indah
itu datang.
Wahai kilat yang menyambar,
dari perlindungan siapa engkau muncul?
Tetapi ia tidak sadar-sadar
juga, meskipun sepanjang masa itu kesenangan tetap tinggal di hatinya.
Ah, kalau saja Laila sekali
saja mengirimkan salam karunianya, meskipun diantara kami terbentang debu dan
bebatuan besar.
Salam kegembiraanku akan
merupakan jawabnya, atau akan menjeritlah kepadanya si burung hantu, burung
sakit yang memekik di tengah keremangan kuburan.
Burung merak itu bodoh,
karena ia telah lupa kepada dirinya dan juga tanah airnya.
. . . janganlah hendaknya
kamu bertingkah seperti orang yang melupakan Allah, yang mengakibatkan Allah
membuat mereka lupa diri pula. (QS 59:19)
Setiap kali hembusan angin
atau suara-suara datang dari taman, timbul hasrat dalam diri si burung merak
tanpa mengetahui mengapa demikian.
Kedua baris ini adalah
karya seorang penyair:
Kilat Ma'arra bergerak di
tengah malam, ia melewati malam di Rama yang melukiskan kebosanannya.
Ia benar-benar menyedihkan
para penunggang, kuda-kudanya,unta-unta, dan terus bertambah menyedihkan,
hingga ia hampir menyedihkan pelana-pelana (catatan: baris-baris ini berasal
dari Al-Ma'arri, Siqth al-Zand. hal. 51).
Ia tetap kebingungan selama
beberapa waktu, sampai suatu hari sang raja memerintahkan agar burung itu
dilepaskan dari keranjang dan kantung kulitnya untuk dibawa menghadapnya.
Peristiwa kebangkitan itu
terjadi hanya dengan satu kali tiupan sangkakala saja. (QS 37:19)
Apakah dia tidak
mengetahui, apabila nanti sudah dibangkitkan segala isi kubur? Dan telah
terungkap segala isi kalbu? Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu maha
mengetahui keadaannya. (QS 100:9-11)
Ketika burung keluar dari
penutupnya, burung merak itu melihat dirinya berada di tengah-tengah taman.
Ketika memandang bulu-bulunya sendiri, dan melihat taman beserta aneka ragam
bunganya, atmosfir dunia, kesempatan untuk berjalan kesana-kemari dan terbang
tinggi, serta semua suara, irama, bentuk dan berbagai benda yang ada, ia
berdiri mendesah seakan-akan tak sadarkan diri (ejakulasi teofanik 'syath' yang
terkenal dari Husayn ibn Manshur Al-Hallaj).
Wahai, sungguh aku
menyesali kelalaianku dalam memenuhi kewajiban kepada Allah. (QS 39.56)
Lalu Kami singkapkan tabir
yang menutupi matamu, maka pandanganmu menjadi lepas jelas. (QS 50:22)
Mengapa ketika nyawa sampai
di kerongkongan, padahal ketika itu kamu melihat orang yang sedang melepaskan
nyawanya itu, sedangkan Kami lebih dekat lagi kepadanya daripada kamu, namun
kamu tidak melihat? (QS 56:83-85)
Jangan berbuat begitu,
kelak kamu akan tahu akibatnya. Sekali lagi, jangan berbuat begitu, kelak kamu
akan tahu juga akibatnya. (QS 102:3-4)
WAHSYI MENEBUS DOSANYA
Wahsyi bin Harb, terkenal
dalam sejarah sebagai seorang hamba kulit hitam yang telah membunuh dengan
kejam Sayidina Hamzah r.a., bapa saudara Rasulullah SAW.
Ketika terjadinya Perang
Uhud, Hindun telah menawarkan kepada Wahsyi agar membunuh Sayidina Hamzah r.a.
dan sebagai ganjarannya dia akan dimerdekakan. Wahsyi yang memang menunggu-nunggu
peluang keemasan itu telah menerima tawaran tersebut. Wahsyi segera berangkat
ke medan Uhud
secara sembunyi- sembunyi dan mencari-cari Sayidina Hamzah. Akhirnya dia
mengenal pasti orang yang dicari iaitu Sayidina Hamzah r.a. bapa saudara kepada
Rasulullah SAW. Wahsyi mula mencari tempat yang paling strategi iaitu dengan
berlindung di sebalik batu. Beliau menunggu masa yang sesuai untuk bertindak.
Setelah cukup yakin, beliau pun melemparkan lembingnya tanpa disedari oleh
Sayidina Hamzah r.a. dan lembing itu tepat mengenai sasarannya. Sayidina Hamzah
rebah ke bumi lalu syahid.
Wahsyi segera memberitahu
tuannya, lalu datanglah Hindun mendapatkan jasad Sayidina Hamzah yang sudah
tidak bernyawa itu. Dibelahnya dada Sayidina Hamzah r.a. dengan kejam dan tanpa
belas kasihan terus dikeluarkan jantungnya. Kemudian dengan rakus sekali dia
mengunyah jantung Sayidina Hamzah r.a. kerana hendak memakannya, tetapi dia
tidak mampu menelannya. Setelah hatinya puas, Hindun pun meninggalkan mayat
bapa saudara Rasulullah itu.
Setelah peperangan tamat,
kesemua para syuhadak dikumpulkan untuk dikebumikan. Rasulullah SAW terasa amat
hiba dan sedih apabila melihat mayat bapa saudaranya itu diperlakukansedemikian
rupa. Rasulullah menanggung kedukaan yang sangat hebat yang tidak dapat
digambarkan oleh kata-kata.
Ketika hari pembukaan
(futuh) Mekah, Rasulullah SAW telah mengutus seseorang kepada Wahsyi untuk
menyerunya kepada Islam. Akhirnya Wahsyi memeluk Islam, lalu dibawa ke hadapan
Rasulullah SAW.
Rasulullah bertanya,
"Kamukah yang bernama Wahsyi?"
"Ya," jawab
Wahsyi.
"Kamukah yang telah
membunuh bapa saudaraku Hamzah?" tanya Rasulullah. "Benar,"
jawab Wahsyi. "
"Ceritakan kepadaku
bagaimana kamu melakukan pembunuhan itu ," pinta Rasulullah. Wahsyi pun
menceritakan satu persatu apa yang telah dilakukan kepada bapa saudara Nabi
itu, bagaimana tubuh bapa saudara baginda dilapah dengan kejam oleh Hindun dan
dimakan hati dan jantungnya.
Selesai sahaja bercerita,
Rasulullah SAW yang dalam keadaan teramat sedih berkata kepadanya:
"Pergilah kamu dari
sini. Jangan engkau muncul lagi di hadapan mataku."
Hancur luluh hati Wahsyi
mendengar kata-kata yang keluar dari mulut baginda. Namun dia akur dan insaf
bahawa perbuatannya dahulu telah menyakiti hati `orang Tuhan` iaitu Rasulullah
SAW. Walaupun dosanya telah diampunkan lantaran memeluk Islam, tetapi atas
kasih sayang Rasulullah, dia dilarang menampilkan diri di hadapan baginda,
takut-takut perasaan Rasulullah tercacat apabila terpandang wajahnya.
Mencacatkan hati orang Tuhan sangat besar akibatnya kerana itu bererti
mencacatkan `hati` Tuhan. Orang yang cacat dengan Tuhan tidak akan selamat di
dunia lebih-lebih lagi di Akhirat.
Lalu Wahsyi yang sedar akan
kedudukannya, redha menerima ketentuan itu. Dia memperbaiki dirinya dan meningkatkan
ketaqwaannya kepada Tuhan. Sewaktu-waktu menghadiri majlis baginda, Wahsyi
mengintai-ngintai dari jauh untuk melihat wajah Rasulullah SAW.Semakin hari
hatinya semakin cinta dengan Nabi SAW. Dan semakin hari hatinya juga semakin
rasa berdosa terhadap baginda atas perbuatannya dahulu. Lalu timbul azam di
hatinya untuk menebus kembali dosa-dosanya itu dengan melakukan sesuatu yang
akan menggembirakan baginda.
Wahsyi bertekad dan berazam
tidak akan pulang lagi ke Kota Mekah demi untuk merebut cinta kekasih Allah
iaitu Muhammad SAW. Beliau benar-benar ingin menebus kesalahannya dengan
menyebarkan Islam. Keazaman Wahsyi itu telah dibuktikannya dengan menjelajah ke
seluruh pelosok dunia untuk berdakwah mengajak seramai mungkin manusia kepada
Islam, hingga akhirnya beliau mati di luar Jazirah Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar